Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ekonomi Cina di Simpang Jalan

Pada 2013, pemerintah Cina mengumumkan agenda kebijakan yang menjanjikan reformasi ekonomi yang sarat akan utang dan didominasi oleh badan usaha milik negara (BUMN).

30 Juni 2020 | 07.00 WIB

Kongres Nasional Cina dipimpin Presiden Xi Jinping dimulai Jumat, 22 Mei 2020. [XINHUA NEWS]
Perbesar
Kongres Nasional Cina dipimpin Presiden Xi Jinping dimulai Jumat, 22 Mei 2020. [XINHUA NEWS]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Tri Winarno
Pengamat kebijakan ekonomi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pada 2013, pemerintah Cina mengumumkan agenda kebijakan yang menjanjikan reformasi ekonomi yang sarat akan utang dan didominasi oleh badan usaha milik negara (BUMN). Namun agenda tersebut hampir tak pernah diterapkan. Cina memilih untuk menghindari risiko yang ditimbulkan ekonomi pasar dan berkukuh pada ekonomi yang dikontrol oleh negara beserta stabilitas yang menyertainya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sejak 2017, Asia Society Policy Institute dan Rhodium Group membuat The Cina Dashboard untuk melacak reformasi kebijakan ekonomi Cina. Berdasarkan pantauan mereka, selama tiga tahun terakhir, hampir tidak ada kebijakan reformasi ekonomi Cina yang signifikan.

Kegagalan pemerintah Cina dalam merealisasi janjinya untuk membuka perekonomian telah merusak kredibilitasnya dan memicu kemunduran laju ekonomi global seperti yang tampak saat ini. Bahkan, sebelum datangnya pandemi Covid-19, tidak adanya reformasi membuat kinerja ekonomi Cina memudar, sehingga ekonominya semakin terbebani oleh tumpukan utang dan sektor swasta domestik semakin ketar-ketir akan prospek mereka.

Sekarang ekonomi Cina benar-benar berada di persimpangan jalan. Krisis Covid-19 telah menyebabkan ekonomi Cina mengalami kontraksi sebesar 6,8 persen pada kuartal pertama 2020, kontraksi terbesar sejak reformasi ekonomi Cina dicanangkan oleh Deng Xioping pada 1978. Untuk pertama kalinya dalam 25 tahun, Cina tidak mempublikasikan target pertumbuhan ekonominya.

Di samping itu, karena sekarang utang semakin berat bagi perekonomian Cina dibanding pada 2013, tampaknya pemerintah Cina tidak memiliki amunisi yang cukup untuk memberikan stimulus kebijakan dengan skala yang lebih masif dibanding selama krisis global 2008. Penumpukan utang akan memperberat risiko ekonomi. Hal itu juga akan memicu krisis harga properti dan perbankan yang semakin membengkak setelah selama satu dasawarsa, portofolio pinjaman ekonomi Cina naik empat kali lipat, yang membuat ekonomi Cina terbebani utang yang menggunung.

Menghadapi keterbatasan tersebut, pemerintah Cina membuat agenda reformasi ekonomi baru seperti pada 2013. Pada 9 April lalu, pemerintah mengeluarkan kebijakan reformasi ekonomi guna meningkatkan alokasi faktor produksi yang berlandaskan mekanisme pasar. Menindaklanjuti agenda tersebut, pada 18 Mei lalu, pemerintah mendeklarasikan manifesto kebijakan dengan mengutamakan penyerapan tenaga kerja yang tidak hanya bergantung pada kebijakan moneter dan fiskal konvensional. Dalam agenda reformasi tersebut, pemerintah menyadari pentingnya kompetisi, perlindungan terhadap sektor swasta, hak intelektual, dan rahasia bisnis. Pemerintah bertekad memperkuat mekanisme penentuan harga yang didasari kekuatan pasar, mengakui hak intelektual, dan membatasi campur tangan administratif dalam aktivitas ekonomi pasar.

Perkembangan ini tentu sangat positif. Namun masihkah pelaku bisnis internasional percaya kepada Cina? Hal ini mengingat pemerintah belum menjelaskan alasan reformasi 2013 tidak dapat diwujudkan dan reformasi 2020 belum memuat agenda secara rinci.

Sementara itu, setelah diguncang pandemi Covid-19 pada tahap awal yang salah langkah, perusahaan asing di Cina mulai mengalihkan investasinya dari negeri itu dan perusahaan swasta lokal menahan pengeluaran investasinya. Jika kecenderungan ini terus berlangsung, kemampuan Cina untuk pulih dari krisis akan semakin tertatih.

Di samping itu, keputusan Cina untuk memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional terhadap Hong Kong akan memperburuk ekonomi. Tampaknya, pemerintah Cina memilih biaya ekonomi agar Hong Kong mematuhi ketentuan baru tersebut. Namun, jika Cina merespons demonstrasi Hong Kong dengan represif, dapat dipastikan bahwa perusahaan internasional akan kabur dari negeri itu, sehingga prospek ekonomi Cina ke depan akan semakin suram.

Bulan-bulan mendatang akan sangat krusial. Kalau Cina ingin membuktikan bahwa reformasinya serius, negara itu akan memprivatisasi BUMN, menghapus ketentuan ihwal persyaratan joint venture, dan melonggarkan pembatasan kepemilikan asing, sehingga industrinya semakin terbuka bagi investasi asing langsung. Dalam pertemuan bilateral dengan Uni Eropa baru-baru ini, Cina berjanji akan melakukan reformasi investasi bilateral yang komprehensif. Karena itu, reformasi ekonomi Cina secara signifikan akan berdampak positif terhadap ekonomi global dan akan mencegah pemain asing keluar dari Cina.

Jelas, pandemi Covid-19 telah menjadi batu uji ekonomi Cina terbesar dalam sejarah ekonomi modern Negeri Panda. Hikmah yang dapat dipetik pemimpin Cina dari pandemi tersebut adalah sekarang saatnya negara itu mengubah orientasi ekonominya agar berkelanjutan dalam jangka panjang yang didasari ekonomi pasar.

Akankah Presiden Xi Jinping menyadari realitas ini dan merebut momentumnya? Atau, sebaliknya, ia menolaknya karena takut reformasi akan membawa perubahan dan instabilitas.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus