Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Penyelesaian konflik agraria pada masa pemerintahan Jokowi masih lambat.
Redistribusi tanah kepada masyarakat baru 40,84 persen dari target.
Penerapan Undang-Undang Cipta Kerja menghambat reforma agraria.
Angga Hermanda
Anggota Pengurus Badan Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (Pispi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir 22 September lalu, Presiden Joko Widodo menyerahkan 124.120 sertifikat tanah hasil redistribusi tanah di 26 provinsi dan 127 kabupaten/kota. Sebanyak 5.512 sertifikat di antaranya diklaim merupakan hasil penyelesaian konflik agraria di tujuh provinsi dan delapan kabupaten/kota yang menjadi prioritas pemerintah pada tahun ini. Walau redistribusi tanah sumber konflik masih belum signifikan, kemajuan dalam proses percepatan penyelesaian konflik agraria dan penguatan kebijakan reforma agraria mesti terus didukung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menguatkan Percepatan
Secara garis besar, pemerintahan Joko Widodo, baik pada periode pertama maupun kedua, belum memenuhi target reforma agraria untuk lahan seluas 9 juta hektare. Khusus untuk redistribusi tanah, yang telah ditargetkan adalah 4,5 juta hektare, dengan rincian 4,1 juta hektare berasal dari tanah pelepasan kawasan hutan dan 0,4 juta hektare dari tanah bekas lahan hak guna usaha (HGU), tanah telantar, serta tanah negara lainnya.
Pada 8 Oktober lalu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang merilis dalam Sistem Informasi Geografis Tanah Objek Reforma Agraria (Sigtora) bahwa capaian redistribusi tanah yang berasal dari tanah bekas lahan HGU, tanah telantar, dan tanah negara lainnya sudah dilakukan di lahan seluas 1,57 juta hektare atau 256,81 persen dari target 0,4 juta hektare. Adapun realisasi redistribusi tanah yang berasal dari tanah pelepasan kawasan hutan baru sekitar 268 ribu hektare. Dengan demikian, total capaian redistribusi tanah kepada masyarakat baru sekitar 1,83 juta hektare atau 40,84 persen dari target 4,5 juta hektare. Capaian itu patut diapresiasi, tapi di sisi lain, angka ini belumlah sesuai dengan harapan pencapaian dalam kurun waktu hampir tujuh tahun terakhir.
Pelaksanaan yang belum memenuhi target menjadi perhatian Presiden. Dalam beberapa kesempatan, Presiden terus mendorong percepatan reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria di beberapa wilayah. Ada beberapa kanal yang menjadi fokus, di antaranya melalui percepatan penyelesaian konflik agraria, khususnya konflik dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Perum Perhutani, perusahaan negara, dan instansi pemerintah lainnya. Presiden juga menargetkan paling sedikit 50 persen dari konflik agraria prioritas harus bisa diselesaikan sampai akhir tahun ini.
Pemerintah kemudian membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria pada Januari lalu. Tim ini menjadi wadah kolaborasi antara kementerian/lembaga dan organisasi petani serta gerakan reforma agraria.
Setelah delapan bulan berjalan, kerja tim banyak menghadapi kendala, dari kewenangan sektoral, birokrasi yang kompleks, perubahan peraturan, dukungan pemerintah daerah, hingga hal teknis seperti administrasi. Hal ini bisa ditelaah dalam proses percepatan penyelesaian konflik agraria di sektor kehutanan. Hambatan mulai mencuat setelah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang kian memperumit pelepasan kawasan hutan untuk tanah obyek reforma agraria (TORA). Sementara itu, penanganan di lokasi-lokasi prioritas di bawah kewenangan Badan Pertanahan Nasional masih tampak gamang. Badan Pertanahan Nasional menempatkan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sebagai pelaksana utama lembaga penyelesaian konflik agraria ketimbang bersama Tim Percepatan.
Tim Percepatan juga mendorong penguatan kebijakan reforma agraria. Proses perubahan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Dalam Kawasan Hutan dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria sedang berlangsung. Perubahan kedua peraturan ini diharapkan akan mampu menjawab masalah-masalah yang terjadi dan mempercepat penyelesaiannya. Upaya penguatan juga dilakukan dengan mengawal revisi Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perum Perhutani. Revisi ini didorong semangat untuk mengurangi sebagian area pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani untuk reforma agraria.
Pada waktu yang sama, Tim Percepatan menghadapi hambatan kerja di lapangan. Kenaikan konflik dalam bentuk perusakan tanaman, pengusiran, penggusuran, pengancaman, dan bahkan pemidanaan petani masih terjadi. Dalam hal ini, Undang-Undang Cipta Kerja sudah mulai diterapkan sebagai dasar dakwaan tindak pidana kepada petani di sekitar atau di dalam kawasan hutan.
Karena itu, peran aparat penegak hukum, yang juga sebagai anggota Tim Percepatan, menjadi sangat krusial. September lalu, Presiden mengingatkan bahwa pemerintah berkomitmen penuh dalam memberantas mafia-mafia tanah dan menginstruksikan jajaran Polri untuk memperjuangkan hak masyarakat serta menegakkan hukum secara tegas dalam penyelesaian konflik agraria. Kepolisian diminta jangan ragu-ragu mengusut mafia-mafia tanah dan jangan sampai ada aparat penegak hukum yang menyokong mafia tanah.
Jalan ke Depan
Tentu secara strategis maupun teknis reforma agraria saat ini belum ideal sebagaimana mandat Undang-Undang Pokok Agraria 1960. Belum lagi daya dobrak Tim Percepatan tidak begitu kuat, mengingat tim tersebut bersifat sementara dan bekerja sampai 31 Desember 2021. Dalam mengisi sisa waktu kerja, masalah dan kendala tentu masih banyak ditemui dan boleh jadi tidak akan sempat dituntaskan. Apalagi dengan berbagai perubahan peraturan yang tumpang-tindih setelah Undang-Undang Cipta Kerja disahkan, seperti pelaksanaan reforma agraria yang akan diserahkan ke Bank Tanah.
Meski demikian, terobosan-terobosan alternatif sebagai muara dari perjuangan rakyat yang dirundung konflik agraria harus terus dicari, seperti surat Menteri Dalam Negeri kepada 18 gubernur dan 61 bupati/wali kota perihal dukungan penanganan konflik agraria pada kasus/lokasi prioritas yang dikirim pada awal September lalu. Kepelikan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dicoba diurai. Mengenai hasil, mekanisme, dan evaluasi kerja Tim Percepatan akan menjadi catatan perbaikan dalam pelaksanaan reforma agraria ke depan. Ini terutama mengenai kelembagaan pelaksana reforma agraria yang lebih kuat dan harus dipimpin langsung oleh Presiden.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo