Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seandainya saya Presiden Jokowi, di malam final Piala Presiden 2018 itu saya tidak akan turun ke lapangan hijau. Saya tidak ingin merebut kenangan publik atas momen luar biasa malam itu: gol Marko Simic, yang belum tentu lahir sekali dalam seratus pertandingan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemain Persija Jakarta asal Kroasia itu menyambar umpan lambung dengan tendangan salto kaki kiri sambil membelakangi gawang lawan. Bola keras itu terlalu sukar diselamatkan kiper. Jebollah gawang Bali United. Marko Simic, yang Sabtu malam pekan lalu itu di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta mencetak dua gol, membawa klub Ibu Kota itu menjuarai kompetisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gol "si gempal" Simic-tinggi badannya 1,87 cm dan berat 80 kilogram-mengingatkan orang kepada Hugo Sanchez, pemain Meksiko, saat bermain di klub Barcelona Spanyol. Dalam sebuah pertandingan pada 1988, Sanchez mendapat umpan dari rusuk kiri, lalu dia langsung mengayunkan kaki kirinya dengan gaya "genjot sepeda" alias bicycle kick. Bola tendangan salto itu menembus gawang lawannya. Gol….
Tidak perlu keburu "terharu" pada yang asing. Pemain Indonesia juga punya keterampilan setinggi Sanchez atau Simic. Pada sekitar 1960-an, di tim nasional ada Max Timisela dan Soetjipto Soentoro, yang beberapa kali mencetak gol dengan gaya salto itu. Khazanah sepak bola Indonesia mengenal tendangan salto itu dengan istilah "balik Bandung". Mungkin saja karena Max Timisela merupakan pemain asal Persib Bandung.
Seandainya saya Presiden Jokowi, saya ingin Piala Presiden dikenang lewat gol-gol indah dan permainan Persija yang malam itu seperti kembali ke masa jayanya pada 1970-an. Saya ingin itu menjadi viral di mana-mana-seperti vlog yang saya buat itu, lo. Dan, saya tegaskan: saya tidak akan turun ke lapangan untuk memberikan piala kepada Persija.
Ya, risikonya sudah saya takar benar-benar. Kalau saya turun ke lapangan, dan Gubernur Jakarta Anies Baswedan ikut turun juga mendampingi saya, bisa-bisa perhatian publik pecah pada kami berdua. Mereka yang berpikiran lurus-lurus saja akan mengatakan kami berdua sudah berdamai, padahal saya tak pernah merasa ada masalah dengan Anies. Dia banyak membantu saya dalam kampanye pemilu yang saya menangi. Mereka yang berpikiran politis akan mendapat bahan pergunjingan baru, misalnya tentang Anies yang kabarnya menjadi rival saya dalam Pemilu 2019. Buat saya, tidak masalah siapa pun maju nanti, tapi malam itu saya tak ingin publik bicara politik. Saya ingin kita semua bicara gol, bukan gol politik.
Seandainya saya Presiden Jokowi, saya akan tetap duduk di kursi VVIP, dan biarlah pemain yang naik ke tribun untuk menerima medali. Itu yang terjadi di Liga Champions, Piala Dunia, dan piala bergengsi yang lain. Saya paham risikonya. Akan muncul kritik: kok Presiden malah memerintahkan pemain yang sudah kelelahan naik panggung, sesekali dong Presiden mendatangi pemain di lapangan.
Saya akan ambil risiko untuk dikritik dan tetap berada di tribun VVIP. Dengan begitu, Anies tak harus dicegah turun ke lapangan seperti yang terjadi pada malam itu (percayalah, saya sungguh-sungguh tak tahu siapa yang memberikan perintah). Dia bisa tetap di samping saya di tribun. Dengan begitu, anak buah saya di Istana, atau ketua panitia Maruarar Sirait, tak perlu repot-repot memberikan penjelasan tentang peristiwa pencegatan Anies-yang barangkali penjelasan itu juga tak gampang dipercaya orang.
Beruntung saya bukan Presiden Jokowi. Bukan pemimpin pemerintahan yang setiap langkahnya mesti dipikir agar tidak berdampak ini dan itu. Saya cukup menikmati sepak bola, gol menawan, tidak peduli gol politik siapa pun di balik pertandingan itu.