Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MONORAIL, busway, subway, dan sebangsanya memang diperlukan oleh metropolis Jakarta. Tapi tidak sebagai percah-percah yang tak berkaitan, melainkan terpadu dalam satu sistem menyeluruh dengan pentahapan yang jelas. Masing-masing itu dapat dinilai baik-tidaknya hanya dalam kerangka sebuah sistem. Kini masyarakat bingung, seolah-olah apa saja dapat diterima asal ada yang usul, meski sepotong-sepotong. Apalagi ketiadaan konsep komprehensif ini lalu menjadi makanan empuk "swastanisasi" yang seronok pula: praktek penunjukan langsung tanpa kompetisi dan transparansi.
Semua metropolis yang berhasil sejak abad ke-19 memiliki angkutan umum massal yang digunakan rutin oleh mayoritas penghuninya. Sarana itu memperkuat saripati kota sebagai mesin ekonomi dan pusat peradaban. Angkutan umum yang andal meningkatkan interaksi dan mendukung kota sebagai pawongan (bahasa Bali: tempat manusia bertemu manusia). Di Paris, misalnya, berkat subway, ruang kota tetap bersahabat, tak semua didominasi mobil. Jalan dan lapangan dapat dinikmati tak terputus dengan berjalan kaki.
Tanpa angkutan umum yang andal, metropolis menjadi mimpi buruk. Jakarta sudah menjadi kota termahal di Asia Tenggara setelah Singapura. Waktu yang disia-siakan di jalan-jalan Jakarta telah memanjang sebesar 36 persen sampai 67 persen dalam kurun 1985_2000. Kerugian akibat kemacetan pada tahun 2002 ditaksir mencapai Rp 8,258 triliun. Tak terhitung kerugian akibat batal hadir dalam kegiatan-kegiatan reproduktif sosial-budaya yang juga memiliki potensi ekonomi.
Mobil pribadi tidaklah efisien, cenderung tak terisi maksimum, mencerai-beraikan bagian-bagian kota, serta mengasingkan individu dalam ruang kaku yang menghambat interaksi sosial. Memakai 85 persen ruang jalan, mobil di Jakarta hanya mengangkut 9,7 persen perjalanan. Karena kemacetan makin rutin dan parah, mobil tak lagi merupakan kemewahan, tapi sebuah keterpaksaan yang melelahkan. Terus memperlebar jalan untuk melayani pertambahan mobil adalah absurd. Jalan Cawang-Gatot Subroto, misalnya, harus diperlebar menjadi 36 jalur pada tahun 2020.
Bersifat captive, angkutan umum menggiurkan modal, yang ekspansinya memperoleh pintu masuk karena lemahnya penyelenggaraan selama ini oleh negara: tak efisien, subsidi yang memberatkan anggaran, dan tak mampu memobilisasi dana segar untuk memperluas pelayanan. Swastanisasi lalu dianggap obat mujarab.
Kritik bagus muncul di Inggris sebagai reaksi terhadap proses swastanisasi gencar yang digelar Tony Blair. Ternyata, efisiensi tidak bergantung pada siapa yang mengelola, melainkan pada ada-tidaknya kompetisi atau kontrol oleh para pemakai. Motivasi mencari untung, dalam pasar captive monopolistik dan tanpa pengawasan pemakai, hanya akan meningkatkan "private profit" dengan "public risk". Sedangkan subsidi melalui pajak bukan soal teknis, melainkan masalah pilihan karena ada nilai-nilai dan tujuan yang ingin dicapai.
Pelayanan umum yang tak cari untung telah menarik sumbangan dan tenaga sukarela yang meningkatkan mutu pelayanan. Tapi yang cari untung semata malah cenderung mengganti pelayanan dengan produk material semata. Dana untuk ekspansi tak bergantung pada kredibilitas swasta itu sendiri, melainkan karena pasar yang captive dan monopolistik. Nyatanya investor swasta dalam sektor ini meraup dana publik jauh lebih besar daripada modalnya sendiri. Asal saja perusahaan negara dapat menerapkan kecanggihan manajemen swasta, meraup dana bukanlah hal sulit.
Dana dari anggaran negara sendiri ternyata masih sangat sedikit digunakan untuk sektor transportasi. Pada tahun 2002 anggaran transportasi nasional hanya 0,041 persen dari pendapatan nasional bruto. Persentase anggaran transportasi Jakarta paling rendah di antara semua daerah di Jabodetabek, yaitu 4,8 persen dari APBD atau 0,18 persen dari PDB.
Jawaban para sosial demokrat di seberang Blair adalah: reformasi, bukan swastanisasi! Dan salah satu saran kunci mereka adalah user's democracy yang konsisten dengan radikalisasi demokrasi yang dianjurkan Habermas untuk mengendalikan kapitalisme mutakhir. Pada tiap sektor dapat diterapkan semacam social syndicalism. Para pemakai membentuk kelompok-kelompok terlembaga untuk mengirim wakil ke badan-badan pembuat kebijakan dan perusahaan, misalnya dengan menjadi komisaris independen.
Di Jakarta ada cukup alasan untuk meragukan sektor publik dapat cepat direformasi untuk mengelola sektor pelayanan umum yang sangat besar. Maka, mungkin "swastanisasi" harus diterima, tapi bukan sebagai jawaban "akhir sejarah" seperti yang sering dibualkan kaum konservatif baru. Itu adalah langkah sementara, dengan tindakan koreksi serius misalnya dalam hal pengendalian melalui partisipasi pemakai di atas. Inilah yang harus diatur sungguh-sungguh dalam rancangan transportasi Jakarta yang kini sedang disusun. Tanpa transparansi dan akuntabilitas publik, swastanisasi akan mengulang gaya Orde Baru yang penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Akhirnya, investasi berskala besar di bidang prasarana harus dilindungi terhadap perusakan yang dapat terjadi bila lingkungan tidak diperbaiki (banjir!), keadilan tidak tercipta, serta tidak difasilitasinya norma-norma dan perilaku sosial yang sesuai. Transportasi harus dibangun bersama dengan seluruh sektor lain di Jakarta secara mendasar dan menyeluruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo