Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pemilu, Korupsi,dan Pemimpin Sejati

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Frans H. Winarta Advokat di Jakarta SEORANG diplomat pernah bertanya kepada penulis, apa yang diharapkan dari Pemilu 2004 yang begitu tinggi biayanya. Cukup sulit menjawab pertanyaan seperti itu. Sebab, berdasarkan pengalaman, pemilu hanyalah dijadikan sarana untuk melegitimasi kekuasaan. Pemerintah selalu saja memakai slogan pesta demokrasi sebagai label sejak masa Orde Baru. Sering kali janji-janji para tokoh dan pemimpin partai politik hanyalah "angin surga" untuk menyedot perhatian dan simpati pemilih. Setelah menang, semua janji itu kemudian tinggal slogan kosong belaka. Apa sebenarnya yang telah terjadi terhadap bangsa Indonesia selama ini? Dosa apa yang telah dilakukan sehingga kita sebagai bangsa sampai begitu terpuruk? Mengapa harga diri dan kebanggaan kita sebagai bangsa begitu minim? Bukankah kita telah bersusah payah merdeka melalui perjuangan fisik dan kemahiran diplomasi para pahlawan? Kita sebenarnya sekarang ini hidup dalam keadaan takut. Pikiran kita selalu diburu rasa takut dirampok, dirampas, ditipu, dicuri, dikhianati, dibohongi, diperkosa, dibunuh, disiksa, dikucilkan, dibuang, dihina, dinista, difitnah, dihukum, diculik, ditahan, disandera. Segala macam ketakutan yang ada di dalam pikiran kita ini adalah akibat kita tidak bisa lagi berdiri dengan kepala tegak karena kehilangan pamor dan harga diri. Konflik horizontal berbau ras, agama, dan kesukuan telah membuat kita keluar dari peradaban modern. Korupsi melanda hampir semua lini kehidupan dan mengancam eksistensi bangsa Indonesia dan kita pun tak berdaya untuk memberantasnya. Ini membuat keadaan lebih parah lagi. Hukum sedang tidur. Para penegak hukum terlena dengan harta dan takhta. Mereka lupa kepada tugas mulianya menegakkan hukum: law and order. Bangsa Indonesia terkotak-kotak dalam kesendirian dan tidak ada lagi perasaan untuk bersatu menempuh kehidupan sepenanggungan dan sependeritaan. Semua itu hilang akibat perpecahan bukan secara fisik saja, tapi lebih dari itu, karena pikiran yang dibatasi tembok egoisme, partisan, mau menang sendiri, dan merasa paling pintar. Kalau saja kita bebas dari semua bayangan ketakutan dan cara berpikir yang sempit, barulah ada harapan untuk tinggal landas menjadi bangsa yang besar, bebas dari cara berpikir yang sempit dan radikal. Tepat apa yang dikatakan oleh Rabindranath Tagore (1861-1941): "Where the mind is without fear and the head is held high; Where knowledge is free; Where the world has not been broken up into fragments by narrow domestic walls; Where words come out from the depth of truth; Where tireless striving stretches its areas towards perfection; Where the clear stream of reason has not loss its way into the dreary desert sand of dead habit; Where the mind is led forward by Thee into ever widening thought and action; Into that heaven of freedom, my Father, let my country awake!" Kalau saja nanti pemilu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berjiwa besar, berpikir untuk kepentingan rakyat, nasionalis, berani berkorban, berwawasan luas, tegas dan jernih cara berpikirnya serta berintegritas, omongannya sesuai dengan perbuatannya, dapatlah diharapkan masyarakat adil dan makmur bukanlah sekadar mimpi, melainkan memang bisa menjadi kenyataan. Jadi, hakikat dan tujuan pemilu nanti adalah mencari pemimpin sejati yang dapat membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terhormat, bebas dari utang, berbudaya hukum, dan berdiri sejajar dengan bangsa lain dengan kepala tegak. Tidak ada lagi rasa takut. Namun, kenyataannya sekarang, era reformasi yang didengungkan menyusul "lengsernya" Soeharto ternyata tidak disertai dengan der Wille zum Wandel, kehendak untuk berubah dan kemauan untuk mengubah. Era reformasi tidak banyak melakukan perubahan karena kita tidak punya political will untuk menciptakan perubahan dan pembaruan. Kita bisa melihat dari perilaku partai politik yang sebagian besar tidak punya program memberantas korupsi. Pemerintah pun tak punya program memadai untuk dengan sungguh-sungguh memerangi korupsi. Integritas para pemimpin adalah taruhan paling mahal dalam kampanye antikorupsi. Apalagi dalam masyarakat yang paternalistis. Kegagalan komisi antikorupsi di masa lampau di bawah pimpinan Nasution pada 1960-an dan Hatta pada 1980-an adalah karena masyarakat belum siap secara mental memberantas korupsi. Ada sikap masa bodoh dan ketidakpedulian sehingga korupsi tumbuh secara besar-besaran dalam skala yang mengerikan dan tak terbayangkan. Saya khawatir, tidak semua pemimpin formal—kalau tak boleh dikatakan sedikit—punya pengetahuan betapa bahayanya korupsi itu bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadaan hukum sekarang diperparah dengan kenyataan banyak perkara korupsi dibebaskan melalui SP3 atau putusan bebas atau putusan yang ringan oleh pengadilan yang tidak masuk akal. Malah beberapa koruptor berhasil lari ke luar negeri setelah menyuap pejabat penegak hukum. Suatu bangsa bisa ambruk karena korupsi yang dapat mengakibatkan kehilangan harga diri, martabat, dan kehormatan. Dan itulah yang sedang terjadi. Kalau saja kita terbebas dari rasa takut, bisa berkata atas dasar nurani yang jujur, dan melaksanakannya secara konsekuen dan konsisten, ada harapan bangsa Indonesia segera terlepas dari pikiran yang terbelenggu rasa takut akan pelanggaran atas hak hidup (right to life), hak perlindungan atas harta benda (right to property), dan hak atas kemerdekaan (right to freedom). Pemilu 2004 akan menjadi ujian bagi bangsa Indonesia apakah akan dapat memilih pemimpin sejati yang sanggup membawa bangsa Indonesia bebas dari rasa takut dan berdiri dengan kepala tegak sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus