Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Jalan Instan Menaikkan Pajak

Penerapan tarif pajak progresif PPh orang pribadi yang baru bukanlah solusi mendongkrak penerimaan negara. Masalah besarnya adalah rendahnya kepercayaan publik.

4 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH kembali menempuh cara instan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Alih-alih mengatasi tingkat kepatuhan membayar pajak yang masih rendah, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan malah menerapkan tarif pajak progresif baru pada pajak penghasilan orang pribadi atau PPh 21.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebijakan ini berlaku mulai tahun pajak 2022 untuk dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak pada Maret 2023. Penerapan pajak progresif baru ini merupakan implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang diberlakukan pada akhir Oktober 2021. Perubahannya, antara lain, dari sebelumnya hanya empat kelompok penghasilan kena PPh 21, kini menjadi lima kelompok. Penghasilan Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar per tahun dikenai tarif 30 persen dan kelompok terakhir adalah penghasilan melebihi Rp 5 miliar dengan tarif 35 persen. Sedangkan dalam aturan lama, kelompok terakhir adalah orang dengan penghasilan di atas Rp 500 juta dikenai tarif 30 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penambahan tarif 35 persen untuk golongan penghasilan Rp 5 miliar ke atas menunjukkan pemerintah hendak mendongkrak pendapatan pajak dari orang-orang kaya ini. Kendati jumlah wajib pajak kelompok ini hanya 0,03 persen, menurut Direktorat Jenderal Pajak, kontribusinya terhadap total penerimaan PPh cukup besar, yakni mencapai 14,28 persen dari total PPh orang pribadi per tahun. Adapun tingkat kepatuhan membayar pajak kelompok penghasilan ini terbilang rendah. Pada 2020 saja, misalnya, menurut Direktorat Jenderal Pajak, angkanya hanya 52,45 persen.

Tingkat kepatuhan inilah yang semestinya diperbaiki pemerintah, tanpa perlu menaikkan tarif dan menambah kelompok sasaran PPh orang pribadi. Dengan menaikkan tingkat kepatuhan orang membayar pajak, pemerintah sejatinya bisa menggenjot penerimaan dari sektor ini. Sebagai catatan, Direktorat Jenderal Pajak pada 2021 melaporkan jumlah wajib pajak di Indonesia bertambah menjadi 3,4 juta. Dari jumlah tersebut, hanya 816 ribu yang membayar pajak atau hanya 24 persen.

Rendahnya kepatuhan wajib pajak sebenarnya berkaitan erat dengan buruknya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Orang enggan membayar pajak karena kebijakan penggunaan anggaran pemerintah terkesan dihambur-hamburkan. Misalnya untuk membangun ibu kota baru, membiayai kereta cepat Jakarta-Bandung yang secara ekonomi tak menguntungkan, memborong alat utama sistem persenjataan yang belum jelas untuk berperang melawan siapa, hingga membiayai gaya hidup mewah para pejabat. Ada persoalan transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola anggaran negara yang membuat orang malas membayar pajak.

Di sisi lain, reformasi perpajakan juga masih jauh panggang dari api. Pemerintah belum berhasil membangun sistem perpajakan yang dipercaya masyarakat. Pemerintah memang berusaha memperbaiki sistem perpajakan, termasuk dengan menaikkan gaji dan tunjangan pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Tapi tetap saja masih ada makelar pajak seperti Angin Prayitno Aji, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Pajak yang menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi pada Mei 2021 karena bersama anak buahnya menerima suap Rp 55 miliar untuk merekayasa pajak sejumlah perusahaan. Angin divonis 9 tahun penjara hingga tingkat kasasi.

Keengganan sebagian masyarakat menyisihkan penghasilannya untuk membayar pajak juga karena adanya ketimpangan pelayanan yang selama ini mereka dapatkan dari negara. Warga sulit mendapatkan pelayanan publik yang baik. Sebut saja, misalnya, susahnya warga mendapatkan akses kesehatan ketika pandemi Covid-19 melanda. Ironisnya, pejabat dan birokrat yang mendapatkan nafkah dari pembayaran pajak masyarakat justru yang berlomba-lomba mendapatkan keistimewaan pelayanan kesehatan pada saat pagebluk corona. Mental pejabat seperti inilah yang membuat orang tak rela menyetorkan uang hasil keringat mereka untuk membayar pajak.

Memang sah-sah saja pemerintah mencari akal untuk mendongkrak pendapatan pajak. Tapi caranya harus dimulai dari hal mendasar, yakni meningkatkan kepercayaan publik atas penggunaan pajak yang mereka bayar. Tanpa hal itu, apa pun ikhtiar menggenjot penerimaan negara dari pajak akan sia-sia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus