Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebaiknya membatalkan niat membuka keran ekspor benih lobster. Rencana itu dapat mengakibatkan eksploitasi benur dan mengganggu keseimbangan ekosistem serta merugikan nelayan lobster.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Larangan ekspor benih lobster dikeluarkan Susi Pudjiastuti, pendahulu Edhy, lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016. Ketentuan itu didasari merosotnya produksi lobster akibat ekspor jutaan benih ke Vietnam, Singapura, dan Cina. Susi juga membatasi lobster yang boleh diambil dari laut minimal berbobot 200 gram dengan panjang karapas 8 sentimeter. Ada pula pantangan menangkap lobster yang sedang bertelur. Hasilnya, ekspor lobster Indonesia meningkat dari 1.017 ton senilai US$ 11,3 juta pada 2016 menjadi 1.286 ton (US$ 16 juta) pada 2017 dan 1.243 ton (US$ 26,2 juta) pada 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edhy ingin membatalkan aturan itu. Alasannya, larangan tersebut menyuburkan penyelundupan benih lobster ke luar negeri, maka lebih baik melegalkannya dan negara mendapat pajak. Ini sudut pandang yang keliru karena menunjukkan negara takluk kepada penyelundup.
Dalih lain adalah ribuan penangkap benur kehilangan pendapatan. Menteri Edhy mendapat masukan dari pengekspor benur sebelum melontarkan wacana pencabutan larangan tersebut. Nelayan mendapat Rp 10 ribu per benur yang mereka tangkap. Di pengepul, nilainya menjadi Rp 25-35 ribu. Di Vietnam, harga itu bisa berlipat menjadi Rp 139 ribu.
Nilai devisa itulah yang membuat Presiden Joko Widodo mendukung rencana Edhy. Ini suatu sikap yang aneh, mengingat sejak 2016 dia tidak pernah menyatakan keberatan atas larangan ekspor Menteri Susi. Seandainya menolak penjualan benur, Presiden bisa meminta pembantunya itu membatalkan peraturan tersebut sejak awal.
Menjual benih jelas merupakan solusi jangka pendek. Saat dewasa, setelah satu setengah sampai dua tahun, seekor lobster dihargai lebih dari Rp 400 ribu. Ketimbang melepas bibit ke luar negeri, Menteri Edhy bisa mendorong usaha penggemukan lobster. Dengan demikian, penangkap benur kembali mendapat penghasilan dan pembudi daya tidak perlu lagi kucing-kucingan, seperti di masa Menteri Susi. Pemerintah juga dapat membantu budi daya lobster dengan mendorong penelitian untuk menghasilkan pakan pengganti ikan rucah-sejenis teri-yang produksinya musiman.
Mengingat 99,5 persen produksi lobster dunia bersandar pada penangkapan, Kementerian Kelautan dan Perikanan harus berkonsentrasi pada pengaturan di laut lepas. Aturan lama boleh dimodifikasi asalkan semangatnya sama, yaitu melindungi plasma nutfah dan kepentingan nelayan. Penerapan batas ukuran sebaiknya dipertahankan. Ketentuan yang sama berlaku di Australia dan Inggris. Penangkapan benur dapat dilakukan dalam batasan tertentu untuk pembudidayaan dalam negeri.
Indonesia juga bisa mengadopsi aturan musim tertutup bagi penangkapan lobster, seperti yang diterapkan Honduras dan Nikaragua. Masyarakat Maluku dan Papua Barat mengenalnya dengan sasi, larangan adat memburu suatu spesies dalam rentang waktu tertentu untuk menjaga populasinya.