Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahmudi
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat dikejutkan oleh operasi tang-kap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap M. Romahurmuziy alias Romy, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang melibatkan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur dan Kepala Kantor Kementerian Agama Gresik. Ia diduga terlibat kasus jual-beli jabatan di kantor-kantor Kementerian Agama di Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus ini memalukan dan mengkhawatirkan karena beberapa alasan. Pertama, kasus ini melibatkan ketua umum partai politik Islam, yaitu PPP, yang tidak kurang dari 50 tahun berkiprah dalam perpolitikan bangsa. Kedua, kasus ini melibatkan pejabat di lingkungan Kementerian Agama.
Kasus ini bisa dianalisis dari berbagai perspektif dengan penjelasan yang berbeda. Dari perspektif politik, kasus jual-beli jabatan bisa dikaitkan dengan upaya melanggengkan kekuasaan dan pengaruh terhadap institusi negara. Dari perspektif ekonomi, ini terjadi karena adanya nilai ekonomi dari sebuah jabatan. Jadi, menyuap merupakan suatu bentuk investasi yang diharapkan akan menghasilkan keuntungan ekonomi setelah menjabat. Sementara itu, bagi pejabat penerima suap, ia bisa berperan sebagai penjual langsung jabatan yang diperjualbelikan dalam bentuk pemberian surat ketetapan atau hanya sebagai makelar.
Dari perspektif psikososial, masyarakat menyuap untuk menjadi aparat sipil negara karena pesimistis, frustrasi, dan tidak yakin bahwa jalur resmi tanpa suap benar-benar dilaksanakan sepenuhnya. Kenyataannya, masih banyak ditemukan kasus penerimaan aparat sipil negara dan pengisian jabatan tinggi melalui jalur koneksi, kroni, nepotisme, dan suap. Adapun dari perspektif budaya, praktik suap jabatan kepegawaian ini merupakan warisan budaya feodal dan kolonial yang telah berlaku di masyarakat selama berabad-abad sehingga masyarakat menganggapnya sebagai hal yang biasa dan wajar.
Kasus Romahurmuziy ini memunculkan pertanyaan seberapa efisien dan efektifkah sistem rekrutmen aparat sipil negara dan pejabat tinggi. Untuk rekrutmen aparat sipil negara, pemerintah telah melakukan seleksi melalui ujian nasional secara serentak. Adapun pengisian jabatan publik yang lebih tinggi dilakukan dengan sistem lelang jabatan. Ide lelang jabatan mengacu pada sistem lelang pengadaan barang dan jasa yang lebih dulu diterapkan di lembaga pemerintah.
Tujuan lelang pada prinsipnya adalah untuk efisiensi dan efektivitas. Dalam konteks lelang jabatan, efisiensi dan efektivitas dicapai apabila pemerintah dapat merekrut calon pejabat terbaik dari sisi kompetensi dan integritas moral dengan biaya terendah atau dengan anggaran yang ada mampu memperoleh calon pejabat terbaik. Sistem lelang jabatan menjadi sangat efisien dan efektif apabila dengan sistem tersebut mampu diperoleh pejabat publik yang terbaik dalam hal kompetensi dan integritas moral dengan anggaran terendah tanpa ada suap sepeser pun.
Kasus Romahurmuziy mendorong kita untuk menimbang kembali sistem lelang jabatan ini. Dalam kasus Romy, Kementerian Agama sebenarnya sudah melakukan seleksi melalui sistem layanan lelang jabatan. Namun ada kejanggalan yang ditemukan KPK. Dalam kasus ini, Haris, yang mengincar jabatan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur, dan Muafaq, yang membidik kursi Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gresik, juga mengikuti proses lelang jabatan melalui sistem tersebut. Hasilnya: keduanya tidak lolos seleksi. Nama Haris awalnya tidak termasuk dalam tiga nama yang diusulkan ke Menteri Agama karena ia sempat mendapat sanksi administrasi kepegawaian berupa penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun. Namun, aneh bin ajaib, nama Haris tetap bisa muncul lagi dan diloloskan hingga akhirnya menjadi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur dan dilantik oleh Menteri Agama pada 5 Maret 2019.
Mengapa orang yang tidak lulus tes melalui sistem layanan lelang jabatan tetap bisa lolos sebagai pejabat tinggi? Masih efektifkah sistem lelang jabatan?
Kelemahan sistem layanan lelang jabatan yang utama adalah bahwa sistem ini hanya menggantikan prosedur administrasi pengadaan aparat sipil negara dan calon pejabat instansi pemerintahan yang tadinya bersifat manual menjadi komputerisasi. Namun sistem ini kurang mampu mendeteksi dan mencegah unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam proses seleksi. Perlu evaluasi menyeluruh terhadap sistem lelang jabatan yang saat ini ada dan perumusan ulang sistem seleksi jabatan.
Sistem lelang jabatan semestinya diikuti dengan sistem pengawasan dan audit untuk mencegah terjadinya seleksi yang tidak sesuai dengan ketentuan. Sistem pengawasan perlu dilakukan, mulai dari tahap perencanaan dan pelaksanaan seleksi hingga penetapan calon pegawai. Saat ini, pengawasan sudah dilakukan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Namun pengawasan dari KASN saja belum cukup. Perlu dilakukan juga probity audit sehingga apabila ada kejanggalan dan ketidakberesan dalam proses seleksi, dapat segera dicegah sebelum pejabat yang diduga tidak layak itu dinyatakan lolos tes.
Probity audit menjamin bahwa proses pengadaan ASN dan pejabat tinggi negara telah dilakukan secara wajar, obyektif, jujur, transparan, akuntabel, serta terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Adanya probity audit dalam pengadaan pejabat tinggi sangat mendesak dilakukan untuk menghindari kejadian seorang pejabat sudah telanjur dilantik padahal proses seleksinya bermasalah.