Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Ketika ‘Dimengerti’ Rumit Dipahami

Natal P. Sitanggang*

8 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meskipun bermakna “dipahami”, pembentukan kata dimengerti agak rumit dipahami. Kerumitan itu terjadi karena ciri pasif di- berdampingan dengan ciri aktif meng- dalam satu kata. Lalu apakah melepaskan bentuk meng- pada mengerti akan menyisakan kata erti sebagai kata yang bermakna? Ya. Kata erti tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai entri pokok. Maknanya masih sejalan dengan kata mengerti dan juga kata arti. Kata tersebut pun hanya berbeda pada satu vokal dengan kata arti. Dengan demikian, kata mengerti bukanlah bentuk tunggal.

Jika ditelusuri ke masa silam, penelitian Slamet Mulyana (1964/2017) menemukan adanya keberakaran bahasa-bahasa bahasa Austronesia (termasuk bahasa Melayu) dalam bahasa-bahasa di daratan Asia Tenggara. Bahasa daratan itu pada dasarnya tidak mengenal bentuk aktif atau pasif. Kategori aktif muncul belakangan karena adanya penandaan peran semantik yang menyatakan kata kerja yang sifatnya transitif merupakan kategori aktif. Bentuk me (atau ma) dalam bahasa Austronesia diketahui berasal dari bahasa Mon. Bentuk tersebut bahkan berstatus kata yang mandiri untuk sejumlah makna, yaitu “menjalankan”, “memakai”, “membuat”, “memiliki”, dan sebagainya.

Kemudian kata me tersebut berevolusi dalam bahasa Austronesia menjadi fungsi perangkai sintaksis antara pelaku dan bentuk transitifnya. Dalam hal itu, fungsi me hampir sepadan dengan bentuk do dalam bahasa Inggris Kuno, misalnya dalam merangkai pelaku dan kata love dalam kalimat I do love you.

Fungsi perangkai itulah yang terjadi pada sejumlah konstruksi dalam contoh: (1) X melakukan sesuatu pada pakan dengan X me pakan, (2) X melakukan perbuatan inum dengan X me inum, atau (3) X mengalami patai dengan X me patai. Asimilasi nasal pada bentuk me dengan kata di depannya menggiring me dan kata di depannya untuk berkontraksi sehingga menjadi makan, minum, dan matai (matai dalam bahasa Campa; mati/mate dalam sejumlah bahasa daerah Nusantara). Dalam bahasa Melayu/Indonesia, kata-kata percontoh itu kemudian menjadi mapan untuk dilekati awalan di-. Penyebabnya adalah peristiwa kontraksi yang diikuti pudarnya ingatan penutur atas fungsi me yang ada pada masa silam. Sampai pada fase itu, pelekatan di- menjadi lumrah.

Sudut pandang lain adalah penopangan kata tertentu melalui imbuhan pada dasarnya tidak hanya oleh bentuk meng- seperti pada kata mengerti itu. Banyak kata yang memerlukan penopangan imbuhan agar bisa lebih bermakna, misalnya pada bentuk perhati, tertawa, berenang, perempuan, kabupaten, atau belakang dalam bahasa Indonesia. Contoh tersebut dibuat sedemikian untuk mewakili keberbagaian imbuhan itu. Tentu tidak cukup ruang untuk membahas itu di sini. Kita cermati saja kata perhati.

Sebagian kalangan tidak mengakui kata perhati sebagai kata bentukan dari imbuhan per dan hati. Alasannya adalah tidak adanya hubungan antara hati dan kata memperhatikan. Dengan perkataan lain, aplikasi tindak memperhatikan selalu menggunakan otak, bukan hati. Dalam hal itu, makna hati dibatasi hanya pada liver (dalam bahasa Inggris), tapi diabaikan hubungannya dengan konsep hati-hati yang juga berasal dari kata hati dan tetap dalam aplikasi tindakan yang melibatkan otak. Dari bentuk ini saja sebenarnya sudah terlihat bahwa baik per maupun bentuk pengulangan tersebut pada tahap itu hanya berfungsi untuk menopang berdirinya sebuah bentuk—terlepas dari bentuk asalnya sudah dapat mandiri (misalnya hati) atau belum (misalnya caya pada kata percaya). Di situlah letak keserupaan me dengan per dalam membentuk atau menopang satu bentuk yang tidak dapat berdiri sendiri. Keserupaan dengan imbuhan lain adalah ter- pada tertawa, ber- pada berenang, per-an pada kata perempuan, ke-an pada kata kabupaten, -an pada kata pasukan, atau -el- pada kata belakang.

Selain itu, apabila diproyeksikan kembali dengan bentuk makan, minum, atau mati di atas, bentuk meng- pada kata mengerti merupakan bentuk yang belum sempat melebur dengan kata erti (misalnya menjadi merti). Keadaan itu dikenal dengan istilah terblokir (blocked). Keterblokiran seperti itu sebenarnya lumrah terjadi di sejumlah bahasa. Itu sebabnya ada terminologi irregular form. Katamba (1994) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang membuat keadaan terblokir adalah kehadiran bentuk sinonim. Haspelmath (2002) memberikan contoh kata go (pergi) dalam bahasa Inggris terblokir menjadi goed karena keberadaan kata went sebagai sinonimnya. Demikianlah bentuk erti terblokir menjadi dierti karena kehadiran kata paham dan arti sebagai bentuk sinonim, yang didukung oleh gagalnya meng- melebur kepada erti.

 

*) Peneliti muda di Kantor Bahasa Jambi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus