Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buruknya kinerja penerimaan pajak tidak bisa dilepaskan dari pengaruh perekonomian yang lesu. Pemerintah perlu segera mengevaluasi efektivitas kebijakan fiskal untuk mendorong perekonomian dalam negeri agar tak terjungkal di tengah menguatnya gejala resesi global.
Data realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019 mencatat penerimaan pajak hingga Agustus baru mencapai Rp 801,16 triliun. Angka ini hanya 50,7 persen dari target Rp 1.577,56 triliun. Baru-baru ini, Direktorat Jenderal Pajak mengklaim realisasi penerimaan pajak pada akhir Oktober telah menembus Rp 1.000 triliun. Kalaupun angka ini akurat, masih ada kekurangan realisasi dibanding target pajak (shortfall) sekitar 37 persen yang harus dikejar hingga tutup tahun.
Sulitnya meraup pajak merupakan dampak dari melemahnya perekonomian. Perang dagang Amerika Serikat dan Cina telah memicu perlambatan pertumbuhan perekonomian dunia dalam dua tahun terakhir. Permintaan barang menurun, harga komoditas pun anjlok. Di negara kita, industri manufaktur, pertambangan, dan perdagangan tampak paling menderita. Data menunjukkan setoran pajak ketiga sektor itu merosot cukup dalam. Pertumbuhan di sektor keuangan, transportasi, dan pergudangan juga tak setinggi tahun lalu.
Besarnya shortfall pajak bakal membuat defisit anggaran tahun ini membengkak dari angka proyeksi 1,86 persen menjadi 2-2,2 persen terhadap produk domestik bruto. Defisit sebesar ini sebetulnya tidak terlalu buruk. Undang-Undang Keuangan Negara masih memberi ruang hingga defisit sebesar 3 persen dari PDB. Selain itu, di tengah seretnya investasi, belanja negara memang tak boleh surut buat menjaga pertumbuhan ekonomi.
Hanya, pemerintah harus tetap berhati-hati dalam menutup kurangnya penerimaan negara. Memperbesar utang lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) bukannya tanpa risiko. Kepemilikan SBN yang sebesar 30-40 persen dikuasai asing cukup rawan. Ekonomi akan terguncang jika mereka berbondong-bondong hengkang.
SBN dengan tawaran imbal hasil lebih tinggi juga menjadi pesaing terberat perbankan dalam meraup dana masyarakat. Dampaknya terlihat dari ketatnya likuiditas bank yang menyebabkan tersendatnya kredit untuk menyokong produksi dan konsumsi.
Pemerintah juga perlu mengeluarkan kebijakan yang mempermudah dunia usaha, termasuk menyederhanakan urusan pajak. Administrasi perpajakan di negara kita dicap paling ribet di Asia Tenggara. Laporan terbaru bertajuk “Economic Openness: Indonesia Case Study” yang disusun Legatum Institute, lembaga riset kebijakan global di London, mencatat rata-rata pembayaran pajak pelaku usaha di Indonesia selama setahun mencapai 43 kali, jauh lebih banyak dibanding negara-negara tetangga. Deregulasi dan debirokratisasi mendesak dilakukan untuk memperbaiki kemudahan berusaha dan berinvestasi.
Kesulitan menambah penerimaan negara harus diimbangi pula dengan kebijakan anggaran yang cermat. Pemerintah perlu memastikan pengeluaran anggaran cukup efektif mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Kuantitas dan kualitas belanja negara di luar gaji dan subsidi mesti ditingkatkan.
Sebaliknya, subsidi yang selama ini tak tepat sasaran, seperti subsidi bahan bakar minyak, sepantasnya dikurangi. Presiden Joko Widodo semestinya berani mengambil langkah yang tak populer, yakni memangkas subsidi minyak, demi menyehatkan perekonomian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo