Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH tokoh utama Koalisi Indonesia Maju, koalisi pendukung Prabowo, mengekspresikan harapan agar koalisi yang telah dibangun tidak berakhir setelah pemilihan presiden 2024. Mereka menginginkan kelanjutan kerja sama politik tersebut dalam menghadapi pemilihan kepala daerah 2024 serta keberlangsungan pemerintahan lima tahun ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konsep pelembagaan kabinet yang diilustrasikan oleh Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Jeffrie Geovanie mengarah pada upaya meniru model Malaysia dengan membentuk koalisi permanen, seperti "Barisan Nasional" atau "Barisan Rakyat".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena hal tersebut, beberapa partai politik yang mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mulai mendiskusikan pembentukan koalisi partai politik yang besar dan permanen, yang diharapkan akan melibatkan Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin utama.
Dengan adanya koalisi permanen, diharapkan stabilitas politik, baik di parlemen maupun di pemerintahan, dapat terjaga. Keberadaan situasi politik yang stabil dianggap sebagai prasyarat utama agar visi dan misi yang diusung dapat terealisasi.
Problem Ketatanegaraan
Meskipun gagasan yang dikemukakan para tokoh Koalisi Indonesia Maju terlihat menjanjikan, namun dalam perspektif hukum tata negara, koalisi yang besar dan permanen memiliki masalah hukum dan politik yang menimbulkan hambatan.
Pertama, koalisi besar tidak sepenuhnya menjamin stabilitas pemerintahan, khususnya pada relasi presiden dan DPR. Dilihat dari aspek fungsi legislasi, dukungan mayoritas berjalan tidak linier dengan jumlah rancangan undang-undang (RUU) yang disahkan menjadi undang-undang.
Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024, pemerintah dan DPR menetapkan 248 RUU. Sedangkan dalam kurun empat tahun (2020-2023), capaian kinerja legislasi hanya menghasilkan 25 RUU yang disahkan menjadi undang-undang. Presiden pada dasarnya menghadapi tantangan dalam mengelola sikap partai terhadap program-program dan kebijakan pemerintah.
Kedua, sistem politik Indonesia berdasarkan pada prinsip multipartai dan pemilihan umum yang mengedepankan representasi kepentingan yang beragam. Namun, ketika kekuatan politik utama bersatu dalam satu-kesatuan, risiko dominasi politik yang tidak seimbang dapat meningkat.
Kondisi ini berpotensi merugikan partai-partai kecil dan independen serta membatasi keragaman pendapat di dalam parlemen. Hal ini semakin diperparah oleh ketentuan Pasal 231 ayat (2) UU Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) yang menetapkan pengambilan keputusan dalam rapat DPR berdasarkan suara mayoritas.
Pelembagaan Oligarki
Pembentukan koalisi yang besar dan permanen juga dapat menimbulkan praktik pelembagaan oligarki berkedok koalisi. Pemerintah cenderung bersifat kompromistis. Akibat meleburnya kekuasaan eksekutif dan legislatif, presiden menjadi sangat akomodatif terhadap kepentingan-kepentingan partai politik.
Kondisi ini semakin buruk karena sifat rente dan transaksional yang masih melekat pada karakter partai-partai politik. Pembagian kursi untuk jabatan setara dengan menteri dilakukan dengan cara yang disebut sebagai "politik dagang sapi". Pada masa Jokowi, pengisian jabatan menteri, bahkan di tingkat petinggi BUMN, sering kali menjadi ajang bagi pendukung dan anggota tim sukses untuk mendapatkan posisi.
Dengan pola relasi presiden dengan DPR yang cenderung akomodatif, hubungan lembaga eksekutif dan legislatif itu juga menjadi sangat kompromistis. Hal ini tentu membawa sejumlah ancaman dalam penyelenggaraan pemerintahan. Fungsi pengawasan DPR menjadi lemah dan tidak obyektif.
Ketika mayoritas partai politik di DPR bersatu dengan pemerintah, presiden tidak hanya menjadi fokus utama kekuasaan eksekutif, tapi juga menjadi penguasa dominan atas partai-partai politik di parlemen. Fenomena ini cenderung mengakibatkan pemerintahan rentan terjebak dalam pola rezim otoritarian.
Analisis Levitsky dan Ziblatt sangat relevan untuk mengilustrasikan situasi tersebut. Melemahnya fungsi legislatif dalam mengawasi eksekutif menjadi indikator munculnya pemimpin yang otoriter. Demokrasi terkikis dan mengalami kemunduran. Peran oposisi sebagai pengawas melemah karena tergiur oleh tawaran jabatan, bantuan, imbalan, dan keuntungan bisnis. Dan akhirnya bisa menciptakan sistem politik yang oligarki, di mana kepentingan sejumlah kelompok diutamakan di atas kepentingan umum atau masyarakat luas.
Koalisi besar dan permanen untuk pelembagaan kabinet Prabowo dapat dianggap sebagai sebuah sesat pikir dalam konteks hukum dan ketatanegaraan. Langkah tersebut berpotensi melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam konstitusi, dengan membawa risiko pengabaian terhadap prinsip pembagian kekuasaan yang seimbang.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.