Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Konten Digital dan Halusinasi KPI

Baru-baru ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan keinginannya untuk mengawasi konten di kanal digital, seperti YouTube, Netflix, hingga media sosial seperti Facebook.

13 Agustus 2019 | 08.58 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Klara Esti
Peneliti di Centre for Innovation Policy and Governance

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baru-baru ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan keinginannya untuk mengawasi konten di kanal digital, seperti YouTube, Netflix, hingga media sosial seperti Facebook. Alasannya, agar konten di kanal digital tersebut "layak tonton" dan "memiliki nilai edukasi" serta untuk "menjauhkan masyarakat dari konten berkualitas rendah". KPI juga menyoroti kalangan milenial yang mereka sebut "menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk mengakses atau menonton konten dari media digital".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Niat KPI ini sekilas tampak mulia, tapi sesungguhnya menyimpan sejumlah masalah besar. Pertama, dan ini yang sungguh fatal, KPI gagal paham akar masalah mengapa masyarakat-tidak cuma kalangan milenial-beralih dari televisi konvensional ke kanal digital. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menawarkan kemudahan bagi publik untuk mengakses pilihan konten yang lebih beragam sesuai dengan preferensi mereka (Nielsen, 2016; Nielsen, 2017; CIPG, 2018). Penonton beralih ke konten digital justru karena mereka muak akan rendahnya kualitas konten televisi (CIPG, 2015; CIPG, 2018).

Sesuai dengan Undang-Undang Penyiaran, KPI mendapat mandat untuk mengawasi televisi dan radio yang bersiaran dengan frekuensi publik. Sayangnya, selama tiga tahun terakhir, kinerja KPI jauh dari optimal. Bahkan, dalam momen krusial peninjauan kembali izin siar stasiun televisi swasta pada 2016, KPI dengan enteng mengeluarkan rekomendasi perpanjangan izin siar hanya dengan melihat usul program siaran dalam proposal setiap stasiun TV. Hingga kini, tak jelas apakah KPI mengevaluasi kinerja stasiun TV secara berkala, lantaran mereka tidak membuka rapor stasiun TV kepada publik. Konten televisi yang hingga kini cenderung seragam adalah bukti gamblang bahwa teguran dan sanksi KPI tak memberi efek jera.

Kedua, ketidakjelasan standar konten yang "layak tonton", "memiliki nilai edukasi", dan "tidak berkualitas rendah". Ketidakjelasan itu hanya melahirkan kebingungan dan tafsir manasuka. Berdasarkan rekam jejak selama 3-6 tahun terakhir, tak ada jaminan bahwa pengawasan KPI dapat menjauhkan masyarakat dari konten berkualitas rendah.

Hal ini tecermin dalam kualitas konten televisi kita yang selama ini menjadi obyek pengawasan KPI. Meski tiga tahun belakangan KPI sibuk mengurus indeks kualitas siaran televisi dan Anugerah KPI, tidak ada bukti bahwa secara keseluruhan kualitas konten televisi membaik. Tayangan komedi slapstick saling lontar guyonan yang merendahkan martabat salah satu aktor, aksi bongkar urusan personal penuh gimmick, serta iklan partai pemilik media di luar masa kampanye masih jamak kita temui di televisi. Mengingat tayangan seperti itulah yang bertahan di media penyiaran, apakah inilah konten yang layak tonton dan memiliki nilai edukasi yang dimaksud KPI?

Ketiga, KPI tak punya kapasitas mumpuni untuk mengawasi konten digital, baik dari sisi teknis peralatan maupun sumber daya manusia. Hingga saat ini saja, KPI masih menggunakan cara manual untuk mengawasi konten televisi. Sejumlah enumerator menonton siaran televisi di layar masing-masing, lalu melengkapi formulir data pelanggaran yang ditemukan dalam konten siaran. Bagaimana KPI mau mengawasi konten digital dengan kapasitas semacam ini?

Di sisi lain, komisioner KPI yang terpilih pada periode ini minim atau bahkan tak punya rekam jejak dalam bidang penyiaran. Beredar kabar bahwa seleksi komisioner KPI bukan berdasarkan prestasi dan penguasaan isu (merit system), melainkan kedekatannya dengan lingkaran politik tertentu. Ombudsman telah menyampaikan laporan dugaan cacat proses dan maladministrasi dalam seleksi komisioner KPI 2019-2022. Independensi KPI pun patut diragukan.

Akhirnya, KPI harus segera berhenti berhalusinasi. Menginginkan perluasan kewenangan tanpa kompetensi cukup hanya akan menambah karut-marut negeri ini. Alih-alih mengumbar nafsu memperluas kewenangan, sebaiknya KPI berfokus membenahi diri demi melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus