Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Saatnya Audit Penggunaan Senjata Api Polisi

Penembakan siswa SMKN Semarang menambah panjang daftar penyimpangan penggunaan senjata api oleh polisi. Mengapa terus berulang?

2 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Robig menggunakan pistolnya tak sesuai dengan aturan.

  • Polisi menafsirkan semaunya atas ancaman terhadap dirinya, lalu menembak.

  • Kondisi ini menggiring kepolisian ke posisi lebih buruk sejak era Reformasi bergulir.

PENEMBAKAN oleh anggota Kepolisian Resor Kota Besar Semarang, Ajun Inspektur Dua Robig Zaenudin, terhadap siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 4 Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy, menambah panjang deretan penyimpangan polisi dalam menggunakan senjata api. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Robig menggunakan pistolnya tak sesuai dengan aturan ketika menembak Gamma, yang mengakibatkan remaja 17 tahun itu tewas.

Pasal 5 ayat 1 huruf f Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian menjabarkan lima tindakan yang harus dilakukan polisi sebelum menembak. Tindakan itu adalah pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong keras, serta kendali senjata tumpul, senjata kimia, atau alat lain yang sesuai dengan standar Polri.

Sejumlah saksi di lokasi kejadian mengatakan Robig tidak menjalankan mekanisme tersebut. Para saksi mendengar dua kali tembakan. Sasaran tembaknya adalah tiga orang yang berboncengan di atas sebuah sepeda motor. Mereka terkena dua tembakan yang dilepaskan Robig. Gamma tertembak di pinggang, yang mengakibatkannya tewas. Dua orang lainnya terluka.

Polrestabes Semarang berdalih bahwa Robig menembak untuk membela diri. Awalnya Robig melintas di Jalan Candi Penataran Raya, Ngaliyan, Kota Semarang, pada Ahad dinihari, 24 November 2024. Kemudian ia mendapati tawuran dua geng remaja. Robig berusaha melerai, tapi diserang, sehingga ia menembak Gamma dan dua rekannya.

Keterangan Polrestabes Semarang ini merupakan alasan klise polisi tatkala membubarkan massa ataupun menangkap terduga pelaku kejahatan. Mereka berlindung pada ketentuan Pasal 8 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009. Pasal ini mengatur polisi dapat langsung menggunakan senjata api tanpa peringatan atau perintah lisan lebih dulu ketika keselamatannya terancam, tidak memiliki alternatif tindakan lain, atau mencegah larinya pelaku kejahatan yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

Ketentuan dalam pasal ini sering disalahgunakan di lapangan. Polisi menafsirkan semaunya atas ancaman terhadap dirinya, lalu menembak. Apalagi sulit memverifikasi keterangan polisi tersebut karena minimnya saksi di lokasi kejadian. Jikapun ada, mereka ketakutan untuk bersaksi.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mencatat terjadi 35 kasus penembakan oleh polisi dalam lima tahun terakhir, dengan korban tewas sebanyak 94 orang. Sebagian besar pelaku penembakan tidak terungkap atau tak diganjar hukuman penjara lewat putusan pengadilan.

Banyak persoalan internal yang harus dibenahi Polri agar tidak terulang lagi penembakan oleh polisi secara serampangan. Di samping menegakkan aturan penggunaan senjata api, kepolisian mesti mengaudit penggunaan senjata api oleh anggotanya secara berkala. Setiap peluru yang ditembakkan wajib dilaporkan dan dipertanggungjawabkan pada kesempatan pertama.

Brutalitas polisi dalam menangani dugaan tindak kejahatan ini berkelindan dengan keterlibatan mereka dalam permainan politik kekuasaan. Misalnya personel kepolisian diduga cawe-cawe untuk memenangkan Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024. Polisi juga diduga terlibat memenangkan pasangan calon kepala daerah yang didukung oleh penguasa dalam pemilihan kepala daerah tahun ini.

Kondisi ini menggiring kepolisian ke posisi lebih buruk sejak era Reformasi bergulir. Sebagaimana penembakan serampangan oleh polisi, sikap partisan kepolisian sangat berbahaya karena bisa meruntuhkan kepercayaan publik terhadap Polri dan penegakan hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus