Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala daerah yang hendak bertarung kembali pada pilkada 2018 hendaknya benar-benar mencamkan peringatan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) ini. Sebab, alih-alih duduk kembali sebagai kepala daerah, tidak mustahil justru terpelanting masuk terungku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senin lalu juru bicara KPK, Febri Diansyah memperingatkan kepala daerah untuk tidak coba-coba menerima suap –dalam bentuk apa pun- demi memenuhi pundi-pundi mereka menghadapi pilkada. Karena, begitu mereka tertangkap, KPK akan menelisik ke belakang, melacak apa saja yang pernah mereka lakukan sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi akan menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) untuk melemparkan mereka ke penjara sekaligus memiskinkannya. “Jangan berpikir untuk sekali atau dua kali menerima suap. Karena ketika satu kali menerima dan tidak diketahui penegak hukum, bukan berarti aman. Tetapi, saat ada kasus yang terungkap, penerimaan-penerimaan sebelumnya juga akan diungkap. Penerapan TPPU ini menjadi warning bagi kepala daerah lain,” kata Febri.
KPK menekankan soal ini mengingat sebentar lagi pesta pilkada –pemilihan kepala daerah- segera digelar. Sejumlah inkumben sudah mendaftarkan diri untuk mempertahankan posisi mereka. Dan tentu untuk memenangkan pertarungan pilkada itu dibutuhkan ongkos besar. Karena itu, sejak dini, KPK memperingatkan kepala daerah tidak menggunakan cara-cara melanggar hukum dalam mengumpulkan dana untuk membiayai ongkos pertarungan mereka.
Sebelumnya KPK memang baru saja menjeratkan pasal TPPU ini kepada Bupati Nganjuk Taufiqurrahman. Dalam pengembangkan kasus bupati ini, KPK menemukan selama rentang 2013 hingga 2017 Taufiqurrahman menerima sejumlah suap dalam berbagai bentuk. Dengan temuan ini, otomatis Taufiqurrahman akan menghadapi dakwaan dalam berbagai kasus -tidak hanya kasus korupsi dan gratifikasi yang masing-masing senilai Rp 300 juta dan Rp 2 miliar. KPK telah menyita dua mobil milik bupati Nganjuk ini, Jeep Wrangler dan Smart Ford serta lahan seluas 12,6 hektare.
Modus yang digunakan Taufiqurrahman adalah modus yang kerap digunakan kepala daerah yang telah tertangkap KPK: meminta “bagian” dari setiap proyek pembangunan infrastruktur di daerahnya. Dengan kekuasaan di tangan, maka hanya mereka yang berkomitmen memberi “bagian” yang mendapat proyek. Di sini, kita tahu, negoisasi “berapa bagian” itu akan terjadi dan mereka yang mendapat proyek memilih untuk patuh.
Syahwat mempertahankan kekuasaan serta menumpuk harta pada akhirnya mengantarkan banyak kepala daerah kita ke meja hijau. Tiga tahun terakhir, misalnya, sedikitnya 33 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Sebagian mereka terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Para kepala daerah ini, dengan berbagai kolusi dan kelicikannya menggarong uang rakyat, uang APBD, untuk dilesakkan ke dalam pundi-pundi mereka. Tak peduli apakah rakyat mereka sejahtera atau tidak. Mereka tidak malu-malu membangun rumah mereka bak istana sementara rakyat mereka terengah-engah menjalani kehidupan sehari-hari. Raja-raja kecil ini demikian berkuasa dan kita baru terbelalak ketika mereka ditangkap KPK -bukan lembaga lain.
Ini misalnya yang terungkap dalam kasus korupsi Bupati Bangkalan Fuad Amin, Bupati Klaten Sri Hartini atau yang terakhir Bupati Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan Abdul Latif, yang ditangkap KPK pada 4 Januari lalu. Dari tangan Fuad Amin, KPK menyita sejumlah aset milik Fuad dan kemudian mendakwa bupati ini telah melakukan kejahatan pencucian uang sebesar Rp 192, miliar. Baca: Vonis Fuad Amin
Sri Hartini, dengan kekuasaannya, memperjualbelikan jabatan di daerahnya dan menerima gratifikasi tak kurang Rp 12 miliar. Dari rumah Abdul Latif, KPK menyita 22 mobil, antara lain BMW, Lexus, Rubicon, Velfire, dan Hummer. Kita terperangah: untuk apa dan dari mana mobil sebanyak itu?
Ironisnya penangkapan para kepala daerah ini tak lantas membuat kepala daerah lain kecut -takut bernasib sama. Publik juga bisa melihat melalui televisi atau media sosial bagaimana sejumlah kepala daerah yang ditangkap dan digiring ke gedung KPK dengan memakai baju “Tahanan KPK” itu tetap tersenyum dan berjalan tegak. Dalam banyak kasus, vonis hukuman kepala daerah yang didakwa korupsi pun terbilang ringan. Karena itu tak heran jika muncul suara minor, mereka yang tertangkap itu hanyalah bernasib apes. Para koruptor tetap bisa tersenyum karena setelah keluar dari penjara, mereka tetap bisa hidup mewah.
Itu sebabnya hukuman untuk koruptor tidak bisa lagi semata-mata hukuman fisik -berdasar UU Tindak Pidana Korupsi. Langkah KPK menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU Nomor 8 Tahun 2010) untuk merebut harta negara yang dikorupsi merupakan tindakan yang mesti dilakukan --paralel dengan penerapan UU Antikorupsi.
Kita tahu para koruptor –yang sadar bahwa perbuatan mereka melanggar hukum- melakukan segala cara demi menyembunyikan atau menyamarkan harta mereka. Mereka menggunakan koneksi dan jaringannya untuk menutupi harta hasil kejahatan mereka, sehingga secara hukum, harta itu seolah-olah bukan milik mereka. Tapi, dalam banyak kasus, penyembunyian dengan cara ini kemudian terungkap karena selalu ada saja pihak yang membocorkan.
Pilkada sudah di depan mata. Para inkumben yang maju, yang akan mati-matian mempertahakan posisi mereka kini tentu tengah menghitung kekuatan “amunisi” mereka, juga lawan mereka. Ongkos politik mempertahakan kedudukan sangat besar.
Tapi, apa pun yang terjadi, peringatan KPK agar mereka tidak gelap mata menggunakan segala cara menggemukkan pundi-pundi harus dicamkan. Jangan sampai pilkada ini membuat mereka berurusan dengan KPK, dibui, dan dimelaratkan dengan pasal tindak pidana pencucian uang.
Lestantya R. Baskoro