Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah semestinya tidak perlu mengintervensi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan demi menyelamatkan Bank Muamalat. Penentuan nasib bank tak boleh berdasarkan kebijakan afirmatif karena justru akan menciptakan industri perbankan yang tak sehat. Risiko moral penyelamatan perusahaan keuangan yang bermotif politik bisa menyebabkan masalah lebih besar di masa depan.
Untuk ketiga kalinya dalam dua tahun terakhir, Bank Muamalat gagal menambah modal dari penerbitan saham baru alias rights issue. Menurut OJK, bank syariah yang mulai beroperasi pada 1991 itu memerlukan dana Rp 4-8 triliun agar sehat. Meskipun sudah ada investor yang bersedia menyuntikkan dana, OJK tak kunjung memberi lampu hijau. Pada rencana rights issue terakhir, OJK menganggap skema tukar guling aset menjadi surat berharga oleh Bank Muamalat untuk menyelesaikan pembiayaan bermasalah (non-performing financing) tak bakal menambah modal, tapi hanya mengkinclongkan laporan keuangan.
Masalah yang terjadi sekarang tidak hanya disebabkan oleh melemahnya sektor riil yang menjadi ceruk bisnis Bank Muamalat seperti alasan perusahaan, tapi juga karena manajemen risiko yang lemah. Sejumlah investasi yang dibiayai Muamalat mengalami kegagalan. Akibatnya, pembiayaan bermasalah menumpuk. Pada 2015, pembiayaan macet mencapai 7,11 persen dengan nominal Rp 2,89 triliun. Ini melebihi ambang batas yang dipatok OJK.
Saat itu, perusahaan merogoh Rp 303 miliar untuk menghapus buku (write-off). Setahun kemudian, untuk menurunkan pembiayaan macet yang tersisa, Muamalat kembali mengeluarkan Rp 683 miliar untuk melakukan keputusan serupa. Setelahnya memang pembiayaan bermasalah tinggal Rp 1,14 triliun. Tapi kebijakan hapus buku itu membuat Muamalat megap-megap. Pada September 2017, rasio kecukupan modalnya turun menjadi 11,58 persen—pas banderol dengan batas minimal yang diizinkan menurut ketentuan OJK.
Manajemen tak belajar dari krisis ekonomi 1998. Seolah-olah kokoh, Bank Muamalat ternyata keropos setelah penopangnya, Soeharto, jatuh. Kredit macet di bank ini mencapai lebih dari 60 persen. Terungkap juga fakta bahwa Bank Muamalat rugi hingga Rp 105 miliar. Muamalat selamat setelah dana asing masuk melalui bantuan Islamic Development Bank.
Setelah aksi korporasi urung dijalankan karena tak mendapat restu OJK, manajemen Bank Muamalat disebut-sebut meminta bantuan Istana agar mempengaruhi keputusan OJK. Langkah ini jelas tidak patut. Walau calon wakil presiden Ma’ruf Amin adalah petinggi Majelis Ulama Indonesia, Presiden sudah semestinya tak usah menggubris permintaan cawe-cawe itu. Tak perlu khawatir krisis Muamalat akan menular ke bank lain karena bank ini belum tentu termasuk bank sistemik.
Apa yang terjadi pada 1998 dan sekarang semestinya menjadi peringatan bagi pemerintah bahwa urusan perbankan sebaiknya diselesaikan secara profesional dan mengikuti aturan bisnis. Pemaksaan penyelesaian secara politik justru bakal memunculkan masalah runyam di kemudian hari.
Biarlah proses penambahan modal Muamalat terjadi secara alamiah.- Toh, Al Falah Investments yang dibentuk Ilham Habibie, putra Bacharuddin Jusuf Habibie, yang berperan dalam pendirian bank ini, sudah menyatakan menjadi pembeli siaga 50,3 persen saham- Muamalat senilai Rp 2,2 triliun. Sejauh ini, Al Falah yang terlihat- serius masuk ke Muamalat. Asalkan prosesnya tak menyalahi- aturan, penambahan modal tersebut tak menjadi masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo