Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diserang pada Rabu pekan lalu. Dua orang tak dikenal melempar dua bom molotov ke rumah Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif. Satu bom meledak dan membakar sebagian dinding teras. Beberapa waktu kemudian, sebuah benda mirip bom palsu ditemukan di rumah Ketua KPK Agus Rahardjo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekerasan bahkan ancaman pembunuhan terhadap personel KPK sesungguhnya tidak terlalu luar biasa. Laode Muhammad Syarif, di salah satu stasiun televisi, berkata: “Biasa saja. Risiko tugas.” Ada aura patriotik dalam kalimat tersebut. Kita angkat topi untuk itu. Tapi mengecilkan arti teror, apalagi mengabaikannya begitu saja, juga tidak dibenarkan.
Paling awal, kita perlu membandingkan data di KPK dengan di kepolisian. Yang ditelisik adalah dari seluruh kekerasan yang dialami personel KPK, berapa jumlah kejadian yang berada di posisi dilaporkan ke kepolisian? Berapa banyak yang dilaporkan tapi tidak tercatat, sekiranya ada? Lebih krusial lagi, bagaimana respons kepolisian terhadap laporan-laporan tentang kekerasan yang diarahkan ke KPK, baik individu maupun propertinya? Juga untuk kejadian yang bukan delik aduan, seberapa banyak kejadian yang dialami personel KPK masuk ke radar polisi?
Data atau jawaban atas hal-hal tersebut akan menjadi dasar atas kesimpulan apakah KPK selama ini dalam kondisi terjaga atau tidak. Data resmi dua lembaga itu diharapkan lebih obyektif sehingga akan bisa mematahkan “data” dari media yang boleh jadi bias, bahwa kabar buruk adalah kabar baik.
Ekspose data akan menjadi kian penting karena, getirnya, “data” media justru acap kali membangkitkan ingatan publik kepada nasib sejumlah nama, seperti penyidik KPK, Novel Baswedan, dan pegiat antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama Satrya Langkun. Novel diserang dengan air keras sehingga matanya rusak. Sedangkan Tama diserang orang tidak dikenal hingga kepalanya cedera.
Ingatan itu, andai tidak dibendung, bisa menggiring persepsi publik untuk sampai pada pemikiran spekulatif bahwa personel KPK dan pegiat antikorupsi seolah-olah tidak terjaga. Selain itu, kasus mereka tidak ditangani dengan tuntas oleh sistem peradilan pidana.
Personel KPK berulang kali menjadi korban kekerasan. Personel Kepolisian RI juga tidak sedikit yang bernasib sama. Bahkan banyak di antara mereka yang sampai kehilangan nyawa. Bedanya, Polri wajib melindungi personel KPK. Polri juga harus mengusut hingga tuntas aksi-aksi kekerasan terhadap para punggawa KPK.
Bagaimana dengan personel Polri yang suratan tangannya kelam akibat dianiaya? Siapa yang menaruh hati? Sayangnya, walau profesi sebagai personel KPK dan personel Polri beratnya bukan alang kepalang, tidak ada satu pasal pun di dalam Undang-Undang Polri dan Undang-Undang KPK yang mengandung perhatian negara terhadap vitalnya keselamatan mereka.
Beda, misalnya, dengan Undang-Undang Guru dan Dosen. Di dalamnya ada pasal-pasal tentang dukungan atau bantuan bagi guru dan dosen yang tengah berada dalam kesulitan.
Sudah saatnya kepedulian pada sisi humanis personel KPK dan Polri dituangkan ke dalam legislasi. Ambil contoh Undang-Undang Keselamatan Penegak Hukum (Law Enforcement Officers Safety Act) di Amerika Serikat. Seekstrem-ekstremnya Presiden Donald Trump, tahun lalu dia merilis Undang-Undang Perlindungan dan Pelayanan (Protect and Serve Act). Legislasi terakhir ini memberi jaminan keselamatan tidak hanya kepada aparat penegakan hukum, tapi juga keluarga mereka. Kekerasan terhadap aparat disejajarkan dengan kejahatan karena kebencian (hate crime). Ancaman hukuman bagi pelakunya sampai penjara seumur hidup.
Keberadaan undang-undang semacam itu merefleksikan nilai bahwa kepedulian terhadap keselamatan merupakan bagian tak terpisahkan dari etika kerja. Itu pula salah satu upaya perlindungan yang berangkat dari kesadaran bahwa mengorbankan keselamatan aparat niscaya berimbas kepada koleganya di satu institusi, masyarakat luas, dan sesama otoritas penegakan hukum.
Dukung KPK memburu koruptor. Dukung Polri memburu pelaku lapangan dan otak penyerangan terhadap personel KPK. Dukung kedua institusi tersebut untuk lebih peduli lagi pada keselamatan personel mereka.
Tak usah terlalu memuja dan membenci berlebihan. Setelah kekuasaan diraih, kadang kita harus hidup sendiri juga.
Budiman Tanuredjo
@bdm2502
Lama2 jadi sedih juga ikuti status2 di medsos saling klaim “Kita benar, Kita hebat, Kita fakta vs Mereka salah, Mereka kecil, Mereka bohong”. Kok kita benar2 spt ingin saling melukai satu sama lain.
KangHerry z
@herry_zudianto
Berdasarkan studi aneka debat capres, bahkan di luar negeri, paling banyak hanya 30 persen pemilih yang menonton debat capres, mereka yang sudah memilih umumnya tak mengubah dukungan setelah menonton debat.
Denny JA
@DennyJA_WORLD