Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Memupus Stigma Mahkamah Kalkulator

Putusan sengketa pilpres 2024 dibacakan hari ini. Putusan tersebut memenuhi prinsip keadilan sesuai dengan kebenaran moral?

22 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI ini, 22 April 2024, Mahkamah Konstitusi akan memutuskan perkara perselisihan hasil pemilihan presiden 2024. Publik tentu menanti apakah putusan tersebut akan menyelesaikan perdebatan dan ketidakpastian antara permohonan atas dasar pendekatan kuantitatif atau pendekatan kualitatif dari perselisihan hasil penghitungan suara pilpres.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesuai dengan undang-undang, MK berwenang memutuskan sengketa hasil pemilihan umum (pemilu). Namun undang-undang juga mengatur hal-hal yang harus diuraikan dalam suatu permohonan perselisihan hasil pemilu. Di antaranya, kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan penghitungan suara yang benar serta permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Undang-Undang MK mengatur bahwa pemohon perlu membuktikan secara jelas angka yang benar versus angka yang salah. Hal serupa diatur dalam Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kesan bahwa MK adalah “mahkamah kalkulator”.  

Di sisi lain, undang-undang sesungguhnya tidak membatasi bahwa MK hanya berwenang memeriksa dan memutuskan berdasarkan “angka yang benar versus angka yang salah”. UUD 1945, UU MK, dan UU Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa MK berwenang memutuskan perselisihan tentang hasil pemilu tanpa membatasi bahwa kewenangan itu hanya mengenai perselisihan angka (pendekatan kuantitatif). 

Dilihat dari sisi ini saja, jawabannya cukup gamblang: MK berwenang memutuskan perselisihan tentang hasil pemiliu, baik dengan pendekatan kuantitatif maupun kualitatif. Namun, meski kewenangan tidak dibatasi, peraturan yang berlaku secara eksplisit membatasi uraian dan tuntutan dalam permohonan. 

Peraturan MK tegas mengatur, jika permohonan perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden tidak memenuhi syarat formalitas, putusannya adalah “menyatakan permohonan tidak dapat diterima". Karena itu, jika permohonan pasangan capres-cawapres nomor urut 01 dan 03 peserta pilpres 2024 tidak mematuhi syarat formalitas yang ada, putusan MK sudah dapat diprediksi, yaitu permohonan tidak dapat diterima.

Perdebatan Soal Pelanggaran Etika

Perdebatan mengenai pelanggaran etika sebelum, selama, dan setelah pilpres 2024 sangat kental. Romo Franz Magnis-Suseno—pakar etika yang hadir dalam persidangan MK—menjelaskan bahwa tuntutan paling dasar etika dituangkan dalam ketentuan-ketentuan hukum, seperti larangan menyiksa orang lain. Ia menjelaskan, etika sangat penting dan harus terlaksanakan dalam hukum. 

Romo Magnis menjelaskan dengan lugas bahwa mengabaikan pelanggaran etika akan memperlemah struktur negara hukum. Menjawab keterangan Romo Magnis tersebut, salah satu kuasa hukum dari pasangan capres-cawapres 02 menanggapi bahwa peradilan di MK bukanlah peradilan mengenai moral, melainkan hukum.

Meski terjadi pertentangan pandangan dan penilaian di antara dua kubu mengenai terjadi-tidaknya pelanggaran etika, tidak bisa dimungkiri bahwa perdebatan itu nyata, sejak sebelum persidangan MK dan kemudian disalurkan melalui permohonan pasangan capres-cawapres 01 dan 03.

UUD 1945 mengatur bahwa kekuasaan kehakiman berfungsi menegakkan hukum dan keadilan. UU Kekuasaan Kehakiman menugasi hakim menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Etika, yang juga disebut sebagai filsafat moral, membahas prinsip-prinsip moral dasar dalam segala dimensi kehidupan. 

Robert Alexy dalam tulisannya berjudul Legal Certainty and Correctness (2015) menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan adalah pertanyaan-pertanyaan moral, dan kebenaran moral dapat disebut sebagai keadilan. Dari pemahaman tersebut dapat disimpulkan, jika hakim memperhatikan etika (moral), ia akan memperhatikan keadilan, dan begitu sebaliknya. Keduanya berkaitan. 

Singkatnya, nilai keadilan tidak bisa lepas dari nilai-nilai etika. Dalam konteks sengketa pilpres di MK, perhatian tersebut tertuju pada dugaan dan tuduhan pelanggaran etika yang terjadi selama proses pemiliu. 

Memperhatikan, mempertimbangkan, dan memutuskan berdasarkan nilai-nilai hukum dan keadilan yang meliputi etika dan moral merupakan hal yang sulit. Akan lebih mudah bagi hakim konstitusi untuk merujuk pada norma hukum yang berlaku pada UU MK mengenai syarat formil permohonan dan norma hukum yang diatur dalam peraturan MK sendiri. Toh, nyatanya, MK sendiri telah “membenarkan” apa yang telah diatur dalam UU MK. 

Namun, di sisi lain, jika MK hanya secara sederhana merujuk pada syarat formal suatu permohonan, hakim konstitusi dapat dianggap mengabaikan dugaan serta tuduhan ketidakadilan yang terjadi selama proses pemilu, yang tentunya sulit dihitung dan dibuktikan secara kuantitatif.

Dilema MK

Kedua permohonan dari pasangan capres-cawapres 01 dan 03 setidaknya mewakili hampir 50 persen suara penduduk Indonesia yang punya hak memilih. Fakta ini tentu tak bisa diabaikan begitu saja. Mengabaikan dalil-dalil kualitatif yang disampaikan sama saja mengabaikan keadilan substantif yang dituntut oleh kedua pasangan capres-cawapres. Hal ini menjadi salah satu dilema yang perlu diselesaikan oleh MK. 

Penulis menilai, apa yang diminta oleh pemohon, meski berada di luar syarat formal yang ada, sesungguhnya bukanlah permohonan di luar akal sehat atau kewajaran. Selalu dapat terjadi suatu kekosongan hukum karena pembuat undang-undang belum bisa memperhitungkan semua aspek ketika suatu undang-undang disusun dan diundangkan. 

Dalam keadaan itulah, kehadiran MK sebagai institusi yudikatif menjadi relevan dan diharapkan menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi. Kemudian, diharapkan pula, institusi legislatif dapat mengubah dan memperbaiki ketentuan hukum yang ada agar tidak lagi terjadi suatu kekosongan hukum. 

Di sini, pemikiran Aquinas yang merujuk pada Arisoteles masih relevan hingga saat ini. Aquinas menyebutkan hakim harus mendasarkan putusannya bukan hanya berdasarkan hukum yang tertulis. Dalam membuat putusan, hakim juga harus menempatkan dirinya sebagai pembuat hukum yang adil berdasarkan prinsip ekuitas (koreksi terhadap keadilan hukum) yang terkandung dalam hukum itu sendiri.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Eddy Marek Leks

Eddy Marek Leks

Pengacara di Leks & Co. Dosen tidak tetap Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya Indonesia, Jakarta. Arbiter pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus