Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Masa Depan Keanekaragaman Hayati Kita

Pembangunan berkelanjutan telah menjadi agenda global selama lebih dari seperempat abad.

18 Februari 2019 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hutan dan kawasan konservasi yang telah rusak di Lahat, Sumatera Selatan, 25 Februari 2015. ANTARA/Iggoy el Fitra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rizal Malik
CEO WWF Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembangunan berkelanjutan telah menjadi agenda global selama lebih dari seperempat abad. Banyak pihak secara konsisten menyuarakan dan menerapkan pentingnya mengintegrasikan dimensi sosial, lingkungan, dan ekonomi dalam pembangunan (triple bottom line of people-planet-profit). Di Indonesia, sayangnya, konsep pembangunan berkelanjutan masih sebatas prinsip yang diwacanakan tapi belum serius diterapkan. Setidaknya itu yang tecermin dalam pandangan para calon presiden peserta pemilihan umum tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama hampir 74 tahun Indonesia merdeka, tidak banyak yang berubah dalam paradigma pembangunan. Dari Presiden Sukarno, yang menjadikan politik sebagai panglima, lalu Presiden Soeharto dengan pembangunan sebagai panglima, terus hingga hari ini dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, yang intensif membangun berbagai proyek infrastruktur. Pembangunan selalu bertujuan menyejahterakan ekonomi dan sosial masyarakat tapi mengorbankan aspek lingkungan. Jika dicermati lebih dalam, kita sebenarnya melemahkan kekuatan sosial-ekonomi sendiri karena tidak mampu menghargai ketergantungan kita yang mendasar pada lingkungan. Sejatinya, keberlangsungan sosial dan ekonomi hanya mungkin dicapai di planet yang sehat dengan daya dukung yang terjaga. Adalah ekosistem yang menopang masyarakat yang kemudian menciptakan ekonomi, bukan sebaliknya.

Living Planet Report 2018 menunjukkan dampak tekanan manusia terhadap bumi. Laporan ini mendalami dampak-dampak yang dirasakan masyarakat dan menggarisbawahi pentingnya pilihan yang kita buat serta langkah-langkah yang kita ambil untuk memastikan planet ini dapat terus menopang kita semua.

Pertama, berita buruk. Laporan yang terbit pada Oktober 2018 ini menyatakan dunia kehilangan spesies bertulang belakang-mamalia, ikan, amfibi, dan reptil-rata-rata sebesar 60 persen dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun. Hanya seperempat daratan bumi yang bebas dari pengaruh kegiatan manusia dan proporsinya akan menurun sampai sepersepuluhnya pada 2050. Perubahan ini disebabkan oleh terus meningkatnya produksi pangan dan permintaan akan energi, tanah, dan air. Meskipun berkurangnya hutan diperlambat dengan penanaman kembali di beberapa tempat dalam puluhan tahun terakhir, kehilangannya lebih cepat di hutan tropis yang berisi tingkat keanekaragaman hayati paling tinggi di bumi. Data keanekaragaman hayati yang dikumpulkan dari sejumlah kajian menunjukkan lebih dari 16.700 populasi dari 4.000 spesies di seluruh dunia.

Indonesia, sebagai biodiversity hotspot, atau negeri dengan pusat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, kehilangan keanekaragaman hayatinya pada tingkat yang mengkhawatirkan. Contohnya, saat ini hanya sekitar 441 hingga 679 harimau Sumatera dan 1.724 gajah Sumatera yang tersisa di habitat aslinya (IUCN, 2008 dan KLHK, 2014). Hutan sebagai ekosistem alami yang menjadi habitat hewan dan tumbuhan terus digunduli. Selama hampir satu dekade pada 2008-2017, hutan seluas 4,5 juta hektare telah musnah, berdasarkan metode penghitungan deforestation rate oleh Puyravaud (2003).

Kedua, berita baik. Menjadi pusat keanekaragaman hayati telah menempatkan Indonesia sebagai 1 dari 10 tujuan ekowisata terbaik di dunia. Potensi ini tak hanya menjadi magnet bagi pengunjung tapi juga bagi investor. Bagi pemerintah, keindahan dan kelimpahan sumber daya alam adalah mesin penggerak ekonomi yang perlu dimaksimalkan. Guna meningkatkan jumlah kunjungan, infrastruktur dan amenitas pariwisata dibangun dan dikembangkan. Namun infrastruktur dan amenitas yang tumbuh memiliki konsekuensi jelas: perubahan bentang alam di hutan dan laut, jejak emisi karbon, marginalisasi komunitas lokal, dan sederet dampak lain. Apa yang diperlukan saat ini adalah memaksimalkan mekanisme pemantauan di lokasi ekowisata dengan mengatur jumlah kunjungan pada batas yang bisa diterima oleh ekosistem.

Dengan fakta-fakta ini, kelompok pemerhati lingkungan dan pegiat konservasi, termasuk WWF, mendesak para pembuat kebijakan merumuskan lagi sasaran yang lebih tepat bagi pembangunan berkelanjutan. WWF mendesak adanya kesepakatan baru dunia bagi alam dan manusia, khususnya perlindungan keanekaragaman hayati, sebagaimana Kesepakatan Paris 2015 yang dirancang untuk mengatasi masalah perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Tahun 2019 sebagai tahun politik menjadi momentum bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang tepat agar manusia dan alam dapat hidup dalam harmoni di planet ini. Living Planet Report diharapkan dapat mengilhami penyusunan biodiversity index versi Indonesia. Dengan berbekal informasi ilmiah, dasar pengambilan keputusan dapat lebih bijak karena akan mempengaruhi jejak manusia di planet bumi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus