Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikhsan Darmawan
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berita palsu atau hoaks seakan-akan telah menjadi "bagian" tak terpisahkan dari kampanye pemilihan umum di Indonesia belakangan ini. Kementerian Komunikasi dan Informatika menengarai seribu hoaks beredar sejak masa awal kampanye sampai akhir Oktober 2018. Menurut data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), dari Juli sampai September 2018 terdapat setidaknya 230 hoaks yang berseliweran di masyarakat. Dari jumlah tersebut, 58,7 persen bertalian dengan pemilihan presiden (Tempo, 1 Oktober 2018).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang paling fenomenal adalah kasus Ratna Sarumpaet. Ratna pada mulanya mengaku menjadi korban kekerasan sejumlah orang, tapi kemudian mengakui sendiri ketidakbenaran kabar itu. Namun Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan bahwa kasus Ratna tidak terkait dengan kampanye pemilu.
Indonesia tidaklah sendirian. Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 telah menjadi "ladang" kajian bagi sarjana berbagai disiplin ilmu, dari ilmu komputer, komunikasi, ekonomi, sampai politik. Allcott dan Gentzkow (2017, 232), sebagai contoh, menemukan bahwa dalam pemilu presiden 2016 itu hoaks telah menjadi hal penting. Menurut mereka, rata-rata orang dewasa Amerika membaca dan mengingat beberapa artikel hoaks selama periode pemilu dengan exposure (terpaan) pada artikel pro-Trump lebih banyak daripada pro-Clinton. Namun, bagaimana hal ini mempengaruhi hasil pemilu, itu bergantung pada efektivitas terpaan berita palsu dalam mengubah cara orang memilih.
Mengapa hoaks dalam kampanye pemilu marak terjadi? Secara teoretis, Alfred Hermida (2016, 76) memiliki sejumlah penjelasan. Menurut Hermida, media sosial adalah ruang di mana sesuatu yang viral lebih dikedepankan daripada kebenaran informasi. Ditambah lagi, kebanyakan orang akan cenderung mudah membagikan informasi yang salah jika informasi tersebut memiliki kecocokan dengan pandangan mereka.
Bahkan, sekalipun sejumlah orang tidak terlalu mempercayai sebuah hoaks, mereka tetap akan membagikannya dengan tujuan hiburan atau menyenangkan teman dan kerabat mereka. Hoaks juga menyebar dengan cepat karena ada potensi ratusan dari ribuan orang akan berpikir bahwa berita tersebut pada akhirnya akan terbukti juga walaupun awalnya tidak benar.
Kementerian Komunikasi telah memblokir 20 akun media sosial penyebar hoaks. Mereka mengaku telah berkoordinasi dengan KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum untuk ikhtiar ini.
Pemerintah Amerika Serikat juga sedang berusaha menangkal hoaks. Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika membentuk Kelompok Kerja Media Sosial untuk Layanan Darurat dan Manajemen Bencana (SMWGESDM). Dalam laporan Maret 2018 yang dikeluarkan kelompok kerja tersebut disebutkan bahwa maraknya hoaks di sana disebabkan oleh empat faktor, yakni informasi yang tidak benar (baik disengaja maupun tidak), informasi yang tidak lengkap, adanya kesempatan untuk menyebarnya informasi tidak benar, dan informasi yang sudah kedaluwarsa.
Lantas, bagaimana pemerintah Amerika menangkal hoaks? Pertama, mereka lebih berfokus pada isi informasi dan tujuan penyebaran informasi ketimbang alat penyebaran informasi. Kedua, mereka bekerja sama dengan media televisi dan radio nasional ataupun lokal untuk menyebarkan informasi yang benar dan memperbaiki informasi palsu yang beredar. Ketiga, mereka memiliki Tim Dukungan Operasi Virtual (VOST) ataupun sukarelawan digital yang memonitor media sosial untuk mengidentifikasi rumor dan melaporkan kepada petugas yang berwenang sehingga kesalahan dapat diperbaiki. Keempat, mengidentifikasi sumber informasi dan influencer di media sosial yang dapat dipercaya dan mendorong influencer untuk menyebarkan berita yang benar kepada masyarakat.
Saya belum memiliki data terbaru perihal efektivitas cara Amerika Serikat menangkal hoaks ini. Namun tidak ada salahnya jika pemerintah Indonesia menggunakan best practice di atas sebagai pelajaran untuk dikaji menjadi kebijakan yang sesuai bagi Indonesia.