Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Elegi Bawang Putih Kita

Izin dan kuota impor bawang putih terus bertambah, sementara produksi dalam negeri selalu rendah. Defisit produksi malah jadi ajang perburuan keuntungan.

28 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ronny P. Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua pekan menjelang bulan suci Ramadan, stok sejumlah bahan pangan dilaporkan menipis. Berdasarkan laporan Cadangan Pangan Pemerintah versi Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada 23 Februari 2024, salah satu komoditas yang stoknya mengkhawatirkan ialah bawang putih. Bapanas menyebutkan cadangan bawang putih di Perum Bulog tersisa 0,21 ton, padahal kebutuhannya mencapai 55.668 ton per bulan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah berupaya menutupi kekurangan itu dengan kembali menerbitkan kuota impor bawang putih. Tahun ini, jumlah yang ditentukan mencapai 645.025 ton, lebih besar daripada realisasi impor pada 2023 dan 2022, yang masing-masing sebesar 588 ribu ton dan 574 ribu ton. Impor terpaksa terus dilakukan lantaran produksi dalam negeri tidak mencukupi. Nyaris 100 persen kebutuhan konsumsi bawang putih masyarakat Indonesia yang sebesar 651 ribu ton per tahun dipenuhi oleh impor.

Produksi bawang putih kita memang sangat rendah. Data Kementerian Pertanian menyebutkan produksi petani bawang putih di Indonesia pada 2021 hanya 45 ribu ton. Angka tersebut turun dibanding pada 2020 yang sebesar 81 ribu ton dan pada 2019 sebesar 88 ribu ton. Di sisi lain, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia merupakan negara importir bawang putih terbesar di dunia dengan volume rata-rata sebesar 509.621 ton per tahun.

Jika dirinci per tahun, pada 2014, Indonesia mengimpor 491.103 ton bawang putih. Pada tahun berikutnya, sebanyak 479.941 ton bawang putih masuk ke Indonesia. Adapun pada 2016, Indonesia mengimpor 444.301 ton. Mulai 2017, volume impor kian melonjak menjadi 549.767 ton dan 582.995 ton pada 2018. Baru pada 2019 volume impor bawang putih menurun menjadi 472.503 ton.

Produksi Selalu Rendah

Penurunan jumlah impor tersebut tidak terjadi karena adanya perbaikan fundamental dari sisi kapasitas produksi nasional. Sebab, nyatanya, kemampuan produksi domestik untuk bawang putih hanya wara-wiri di angka 5 persen. Lihat saja Data Kementerian Pertanian pada 2016 yang mencatat konsumsi bawang putih masyarakat pada tahun tersebut mencapai 465,1 ribu ton. Sementara itu, produksinya hanya 21,15 ton sehingga terjadi defisit 443,95 ribu ton. Pada tahun berikutnya, defisit itu meningkat hingga mencapai 461,74 ribu ton.

Dari data tersebut terlihat bahwa kebutuhan bawang putih nasional terus meningkat, sementara produksi justru menyusut, yang membuat defisit bawang putih makin lebar. Secara pukul rata, diperkirakan selama periode 2017-2021, produksi bawang putih Indonesia bertengger di angka 19-20 ribu ton per tahun. Padahal konsumsi bawang putih diperkirakan terus meningkat, dari 480 ribu hingga 560 ribu ton. Walhasil, ada defisit 480-550 ribu ton hingga 2021. 

Angka-angka tersebut tentu saja menjadi sebuah gambaran numerik yang gurih bagi para pelaku impor, sekalipun secara sosial-ekonomi cenderung jarang menjadi perhatian publik. Pasalnya, posisi bawang putih kerap dianggap kurang strategis apabila dibandingkan dengan komoditas lain, seperti beras, bawang merah, atau daging sapi.

Bagaimana tidak, secara rata-rata, setiap orang Indonesia hanya butuh bawang putih tak lebih dari 1 kilogram dalam setahun. Hitungannya, jika jumlah penduduk Indonesia pada 2018 diperkirakan mencapai 261,89 juta jiwa dan konsumsi bawang putih sebanyak 482,19 ribu ton, konsumsi per kapita bawang putih hanya 0,18 kg/tahun. 

Persoalannya, akibat kondisi tersebut, luas lahan bawang putih kita mentok di angka 2,42 ribu hektare, dengan produktivitas hanya 8,45 ton per hektare. Bisa jadi, sebagian lahan itu pun hanya basa-basi para importir. Sebab, untuk memenuhi kualifikasi layak impor, mereka diwajibkan menanam bawang putih minimal 5 persen dari perizinan impor yang diberikan. 

Lahan Bisnis Menggiurkan

Secara kasatmata pun, bisnis bawang putih terlihat remeh. Padahal komoditas pangan yang banyak terserak di los-los pasar tradisional tersebut merupakan bisnis yang sangat gurih. Mari kita lihat secara detail. Kebutuhan nasional bawang putih mencapai lebih dari 30 ribu ton per bulan. Dari jumlah itu, hanya 5 persen yang bisa dipenuhi petani lokal. Sisanya, 95 persen bawang putih harus diimpor setiap tahun. 

Besarnya cuan dari bisnis impor bawang putih ini bisa kita lihat jika menilik data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS). Pada 2019, misalnya, harga bawang putih yang terpantau di PIHPS berada di angka Rp 17-46 ribu per kg. Jika harga itu dirata-rata menjadi Rp 30 ribu per kg, nilai bisnis komoditas ini bisa mencapai Rp 10,2 triliun. Bisnis ini kian menggiurkan karena harga bawang putih sangat rentan dipermainkan, sesuai dengan kekuatan stok para importir.

Kondisi fundamental bawang putih yang memang sudah sedemikian parah itu boleh jadi memang sengaja dibiarkan agar pemerintah terus menerbitkan kuota impor. Meski kebijakan itu sebetulnya bermakna untuk membatasi jumlah barang yang diimpor demi melindungi produksi domestik, nyatanya dalam kasus bawang putih, pemerintah seolah-olah tak berdaya menggenjot produksi komoditas ini.  

Secara teoretis, pembatasan impor suatu komoditas biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi kepada beberapa kelompok individu atau perusahaan. Contohnya kebijakan pembatasan impor keju oleh pemerintah Amerika Serikat. Di sana, hanya perusahaan dagang tertentu yang diizinkan mengimpor keju, dengan jumlah tertentu setiap tahun. Besarnya kuota untuk setiap perusahaan didasari jumlah keju yang diimpor pada tahun-tahun sebelumnya. 

Sementara itu, di Indonesia, kuota impor bawang putih diberikan kepada sejumlah perusahaan yang disaring oleh Kementerian Perdagangan berdasarkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian. Pada 2019, model rekomendasi semacam ini justru menghasilkan kasus korupsi yang menyeret bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Nyoman Damantra, ke rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Praktik lancung semacam itu berisiko terulang. Baru-baru ini Ombudsman RI menyatakan terdapat pungutan liar dalam proses penerbitan RIPH bawang putih. Nasib komoditas bawang putih memang sedemikian nahas. Defisit produksi yang mengharuskan kita terus melakukan impor malah menjadi lahan basah bagi para pemburu cuan haram. Sungguh miris.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Ronny P Sasmita

Ronny P Sasmita

Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus