Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GAYUS Halomoan Tambunan mungkin dianggap sosok aneh sekaligus nekat. Jarang ada manusia Indonesia yang terjerat sekaligus empat dakwaan seperti Gayus. Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dia mengoleksi empat kasus, di antaranya dugaan korupsi pajak PT Surya Alam Tunggal, penyuapan hakim Pengadilan Negeri Tangerang, serta keterangan palsu terkait kepemilikan Rp 30 miliar.
Gayus segera menambah perbendaharaan perkara setelah menyuap polisi untuk membeli "kebebasan" keluar-masuk penjara. Berkat "kebaikan" polisi itu, Gayus bisa pelesiran ke Nusa Dua, Bali, menonton pertandingan tenis kelas dunia-dan bertemu dengan siapa saja yang dia inginkan.
Proses hukum terhadap bekas pegawai pajak itu malah terasa lebih aneh. Kesaksiannya di pengadilan bahwa dia menerima dana puluhan miliar rupiah dari tiga perusahaan Grup Bakrie sama sekali tak masuk dakwaan jaksa. Seolah-olah aparat hukum tak mau menyentuh grup bisnis yang dimiliki Aburizal Bakrie itu.
Pengakuan Gayus bahwa ia menerima duit dari PT Kaltim Prima Coal dan Bumi Resources-milik kelompok Bakrie-masing-masing US$ 500 ribu sama sekali tidak berdampak hukum terhadap grup itu. Pemberian uang US$ 2 juta untuk Gayus dari PT Arutmin-yang lagi-lagi dimiliki Bakrie-juga tidak menggoyahkan penegak hukum memeriksa perusahaan itu. Padahal pelanggaran hukum sudah begitu gamblang. Gayus mengaku menerima semua pemberian ini lantaran posisinya sebagai petugas penelaah keberatan di Direktorat Jenderal Pajak-sebelum akhirnya dia dipecat.
Seharusnya sekaranglah saat yang tepat bagi jaksa melengkapi dakwaan. Jika belum dilengkapi bukti, jaksa bisa meminta kepolisian segera menjalankan tugas itu. Sungguh janggal mengadili seorang bekas pegawai pajak yang memiliki dana hingga ratusan miliar rupiah, tapi penyidik dan penuntutnya mengabaikan asal-muasal dana itu. Padahal sang terdakwa sendiri berkali-kali terang-terangan mengungkap perusahaan yang menyuapnya.
Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono berkesempatan mengoreksi amburadulnya proses hukum yang terjadi sejak kepemimpinan pendahulunya. Ia bisa mendesak polisi menyidik kasus ini sampai ke akar-akarnya. Semua pihak yang diduga menyuap perlu segera disidik. Jika kepolisian menolak, apa boleh buat, kejaksaan harus berani mengambil oper perkara sensitif yang kini menjadi perhatian masyarakat luas ini.
Demi tegaknya rasa keadilan bagi masyarakat, polisi harus cepat mengungkapkan pengakuan Gayus. Bila benar ia mempunyai logam mulia dan emas lantakan, dengan nilai Rp 74 miliar, yang disimpan di Singapura, tentu jumlah uang yang ia terima dari "klien"-nya jauh lebih besar daripada yang diakui sebelumnya. Ini belum termasuk Rp 25 miliar yang sebelumnya ditemukan di rekening Gayus dan sudah diblokir. Dari pengungkapan kasus ini akan diketahui jaringan "mafia" pajak di tempat Gayus bekerja, bila kita yakin pegawai negeri golongan III ini tidak bekerja sendiri.
Kasus ini juga merupakan "tamparan" bagi Direktorat Jenderal Pajak dan Departemen Keuangan-kementerian yang sudah melakukan reformasi birokrasi dan memperbaiki gaji serta remunerasi. Kementerian itu juga dituntut publik memastikan bahwa kasus Gayus bukanlah kebiasaan para petugas pajak pada umumnya. Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak perlu memeriksa semua aparatnya, dan menjamin reformasi birokrasi di kementerian itu bukan merupakan program yang sia-sia.
Keluarnya Gayus dari Rumah tahanan Brimob sesungguhnya hanyalah masalah teri. Yang jelas-jelas merupakan perkara kakap sesungguhnya tengah terpampang di pelupuk mata: dugaan suap puluhan miliar rupiah yang diterima Gayus dari tiga perusahaan kelompok Bakrie. Pihak Bakrie boleh saja dan memang berhak membantah. Tapi tiga perusahaan tambang itu memang sedang disidik aparat pajak dalam kasus dugaan manipulasi pajak yang merugikan negara Rp 2,1 triliun.
Sekali lagi, perkara ini harus segera diusut. Jangan sampai langkah aparat malah terkesan mementahkannya. Kalau ini terjadi, jalan akhir harus ditempuh: mengundang kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menangani perkara gawat ini. Undang-undang telah memberikan mandat kepada KPK untuk tidak hanya melakukan supervisi, tapi bahkan mengambil alih kasus dari tangan polisi dan jaksa dalam keadaan yang telah dipersyaratkan.
Kita ingin pemerintah benar-benar "hadir" dalam penuntasan kasus Gayus dan kasus pajak tiga perusahaan Bakrie itu. Pemerintah perlu memastikan bahwa tidak seorang warga negara pun yang kebal terhadap hukum. Dan kasus Gayus ini merupakan ujian: benarkah hukum kita hanya sanggup menjerat si kecil dan tak berdaya di tangan orang-orang besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo