Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYIKSAAN terhadap Sumiati dan kekejaman yang merenggut nyawa Kikim Komalasari, dua tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi, seharusnya membuka mata pemerintah bahwa para ”pahlawan devisa” tidak mendapat perlindungan di negeri orang. Sumiati, 23 tahun, digunting bibirnya, sedangkan Kikim, 36 tahun, disiksa dan mayatnya ditemukan di bak sampah. Pemerintah tak cukup mengirim tim penyelidik ke Saudi atau menganjurkan TKI memiliki telepon seluler. Yang diperlukan adalah kesepakatan dua negara tentang perlindungan tenaga kerja kita. Pemerintah tak bisa membiarkan 4,3 juta TKI di luar negeri—tak termasuk yang ilegal—mengadu nasib tanpa perlindungan pemerintah.
Jangankan berusaha keras memberikan perlindungan, pemerintah tak pernah mengemukakan data sahih tentang penyiksaan TKI. Lembaga swadaya masyarakat Migrant Care menyebutkan, dalam dua tahun terakhir, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan mencapai angka ratusan. Di Saudi, misalnya, Susmiyati dan Siti Tarwiyah pulang ke Tanah Air setelah menjadi mayat akibat disiksa keluarga juragan. Halimah binti Kohar meninggal di kolong jembatan Jeddah setelah ia kabur dari rumah majikan yang tak mempedulikan penyakit paru-parunya.
Pemerintah terlihat mendua menghadapi kekerasan ini. Kendati melancarkan protes atas kekerasan yang dialami warga negaranya, pemerintah sangat berhati-hati mengambil tindakan yang lebih tegas. Moratorium pengiriman TKI ke Saudi, misalnya, kelihatannya bukan pilihan yang akan diambil. Pemerintah tentu menghitung pemasukan devisa lebih dari Rp 60 triliun setiap tahun dari para TKI. Bagian terbesar dari pemasukan itu berasal dari TKI di Arab Saudi. Lagi pula, bila tindakan keras yang dipilih dan itu berakibat TKI diusir dari Saudi, pemerintah pasti pusing tujuh keliling memikirkan lapangan kerja pengganti.
Apa pun risikonya, dua kekejaman terakhir ini tak bisa disikapi dengan biasa-biasa saja: mengirim nota protes, lalu ”menonton” dari jauh langkah yang diambil pemerintah Saudi. Pemerintah Indonesia perlu mendesak Arab Saudi agar memeriksa dan menyidangkan si majikan penyiksa itu. Tim yang ditugasi pemerintah, dipimpin Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar, mesti mengawal persidangan yang—semoga—digelar. Segala bentuk penyelesaian di luar sidang harus dihindari untuk kasus yang sudah melewati batas-batas kemanusiaan ini.
Setelah kasus hukum Sumiati dan Kikim selesai, pemerintah perlu melancarkan diplomasi untuk mewujudkan nota kesepakatan bidang tenaga kerja RI-Arab Saudi yang selama ini tertunda-tunda. Nota kesepakatan merupakan langkah nyata melindungi hampir sejuta tenaga kerja wanita Indonesia di Arab Saudi. Kasus Sumiati dan Kikim perlu dijadikan momentum mengajak kembali Arab Saudi ke meja perundingan.
Perundingan itu sudah mendesak mengingat perlakuan yang dialami para TKI di Saudi. Mereka praktis bekerja selama 24 jam, dikurung dalam rumah yang umumnya bertembok tinggi. Mereka tak memiliki hari libur, tak mendapat izin berorganisasi, dan dilarang melapor ke Kedutaan Indonesia bila mengalami masalah. Perusahaan pengerah tenaga kerja juga harus dituntut membekali TKI dengan penguasaan bahasa Arab yang memadai untuk berkomunikasi dengan majikan.
Pemerintah Indonesia tak boleh lagi menerima alasan klise Arab Saudi, misalnya, kekerasan tidak mencerminkan sikap mayoritas majikan. Nota kesepakatan perlu diwujudkan untuk melindungi para penambang devisa itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo