Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KIAN sulit kita mencari penegak hukum yang-meminjam peribahasa-tak kuning oleh kunyit, tak hitam oleh arang. Makin suntuk rasa mual kita mendengar penegak hukum yang tak lagi tegak rasa malunya. Polisi memeras tersangka, hakim main mata, jaksa menyulap dokumen perkara.
Berita terbaru adalah jaksa yang merangkap tukang tagih. Alkisah, Kepala Kejaksaan Negeri Gunung Sugih, Lampung Tengah, Djamin Susanto, mendatangi Bupati Lampung Tengah, Mudiyanto Thoyib. Ia menagih utang Pemerintah Kabupaten kepada seorang rekanan dalam proyek pengadaan perlengkapan kantor. Sejak 2008 tagihan itu belum dibayar.
Tagihan itu sendiri, sebetulnya, masih silang sengkarut. Ada cerita, si rekanan mendapat proyek yang bujetnya tak tertera dalam anggaran pemerintah karena main mata dengan bupati lama. Oleh Mudiyanto, yang pada 2008 masih wakil bupati, tagihan itu diabaikan. Laiknya tukang tagih, Pak Jaksa main ancam. Ia sesumbar akan menyeret Bupati ke pengadilan dengan tudingan korupsi. Pejabat pemda lainnya juga ditakut-takuti.
Dari pejabat kabupaten yang mengkeret, sang jaksa mendapat "uang damai" Rp 1,5 miliar. Kasus ini belakangan dilaporkan Bupati ke Kejaksaan Agung. Kepala Kejaksaan Negeri itu jelas telah menyalahgunakan wewenangnya. Ia juga memeras-tindak pidana yang diancam hukuman bui. Urusan utang macet mestinya ditangani polisi atau dibawa ke pengadilan perdata. Jaksa tak perlu turun tangan menjadi juru tagih.
Cerita tentang jaksa nakal ini tentu bukan satu-satunya. Sepanjang 2010, setidaknya 119 kasus serupa terjadi. Modusnya rupa-rupa, dari memeras, menilap barang bukti, hingga membuat surat tuntutan sesuai dengan permintaan terdakwa. Kejaksaan Agung telah mengambil tindakan, meski umumnya hanya berupa pemecatan dan sanksi administratif. Para jaksa sontoloyo itu dianggap cuma melanggar kode etik.
Inilah yang patut kita sesalkan. Jaksa Agung mestinya menyadari, jaksa nakal bukan urusan enteng. Bersama polisi dan hakim, jaksa merupakan "sapu" yang mesti dijaga dari kotoran, agar bisa dipakai membersihkan "lantai" yang cemar. Buang jauh-jauh pikiran bahwa membersihkan Kejaksaan berarti membuka borok sendiri. Jangan juga mudah terharu terhadap jaksa yang pendapatannya memang tak tinggi, sehingga memaklumi ketika mereka mencari "tambahan gaji".
Seretlah jaksa yang nakal ke pengadilan. Jika terindikasi korupsi, termasuk melakukan suap, libatkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Semua tindakan ini hanya efektif jika Jaksa Agung punya semangat bersih-bersih-sesuatu yang sulit diharapkan dari Darmono, Pelaksana Tugas Jaksa Agung saat ini. Seorang pemimpin Kejaksaan Agung yang rikuh menindak anak buahnya-karena kasihan atau telanjur terkontaminasi perilaku korup yang sudah melembaga-selayaknya tidak dibiarkan memimpin.
Presiden harus segera mengganti pemimpin Kejaksaan, mumpung yang sekarang hanya penjabat sementara. Jangan sungkan menempatkan orang luar. Undang-undang mengizinkan Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda diambil dari luar Kejaksaan. Presiden jangan terlalu lama mempertimbangkan penetapan Jaksa Agung definitif. Dalam hal pemberantasan korupsi, kita beradu kuat dan beradu cepat dengan koruptor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo