Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menjaga Alam Sumber Kehidupan

Kapankah terakhir kali Anda melihat dari dekat satwa liar di alam? Saya terakhir kali melihat monyet liar di belakang rumah saya saat berusia sekitar 9 tahun.

22 Maret 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hutan dan kawasan konservasi yang telah rusak di Lahat, Sumatera Selatan, 25 Februari 2015. ANTARA/Iggoy el Fitra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fachruddin M. Mangunjaya
Visiting Fellow Institute of Islamic Understanding Malaysia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kapankah terakhir kali Anda melihat dari dekat satwa liar di alam? Saya terakhir kali melihat monyet liar di belakang rumah saya saat berusia sekitar 9 tahun. Waktu itu, di belakang rumah saya di Kalimantan, masih ada sungai yang jernih, hutan alam, dan hutan karet. Saya juga meminum air langsung dari sungai yang segar, bening, dan berwarna agak merah seperti teh-karena daun serasah hutan tropis yang ada di hulu sungai-tanpa khawatir menjadi sakit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga puluh tahun kemudian, tempat itu telah berubah. Rumah saya telah berada di tengah kecamatan dan sungai sudah rusak, kering, dan tercemar. Kondisi seperti ini berlangsung di berbagai belahan planet bumi. Program PBB untuk Lingkungan (UNEP, 2019) baru saja menerbitkan laporan "Global Environmental Outlook 6: Healthy Planet Healthy People" tentang kondisi lingkungan yang mencakup kondisi global alam asli di planet bumi, termasuk kondisi udara, laut, air bersih, lahan dan tanah, keanekaragaman hayati, dan kebijakan.

Laporan tersebut menyebutkan bahwa apa yang dilakukan setiap bangsa ternyata tidak berkelanjutan. Hal ini dibuktikan dengan adanya pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan, termasuk pola perdagangan yang dilakukan antar-kawasan. Dengan demikian, ketahanan ekologi, sosial, dan ekonomi akan menurun dalam beberapa dekade mendatang serta pada ujungnya akan berdampak negatif terhadap tren global yang tidak dapat dikendalikan.

Polusi air bersih terjadi di kawasan pertanian, dari permukaan hingga ke air tanah, yang menyebabkan air berkualitas rendah. Hal ini juga berdampak pada kawasan pantai dan laut di kawasan tersebut. Selain itu, studi UNEP menyebutkan ada perbedaan mencolok dalam akses pada sanitasi dan air bersih. Juga ada ketimpangan dalam pengelolaan air limbah di berbagai kawasan.

Jumlah manusia di planet bumi ini 7 miliar sejak 2011. Jumlah itu akan berlipat pada 2050, sehingga populasi dunia menjadi 10 miliar. Produksi pangan pun perlu ditingkatkan hingga 50 persen. Maka manusia harus melakukan efisiensi atas sumber daya dan melangkah pada upaya inovasi.

Manusia merupakan bagian dari alam dan memerlukan alam. Namun alam terkadang tidak memerlukan manusia. Dalam kasus perubahan iklim, kerusakan yang ditimbulkan manusia merupakan faktor paling dominan dibandingkan dengan bencana alam.

Dalam siklus alam yang dinamis, gempa bumi, misalnya, dapat terjadi dalam skala besar dengan daya rusak hanya di satu tempat dan wilayah. Dia juga dapat terjadi sekali dalam beratus tahun. Namun manusia modern dapat merusak lingkungan dalam skala yang masif dan berkelanjutan. Kerusakan tata lahan yang mengakibatkan banjir adalah satu contohnya. Pemanasan global yang menjadi sebab perubahan iklim adalah akibat manusia.

Maka kita harus mengurangi penggunaan energi fosil, seperti minyak bumi dan batu bara, yang sekarang masih 80 persen kita gunakan di berbagai sektor. Sebab, penggunaannya akan mengakibatkan laju penebalan atmosfer yang menjadi penyebab pemanasan global. Di samping itu, sumber daya minyak dan batu bara akan semakin habis dan mahal. Jadi, strategi dan inovasi untuk mendapatkan energi terbarukan adalah sebuah keharusan.

Alam akan terus diperlukan karena dengan mempertahankannya, keseimbangan di bumi dapat dipertahankan. Manusia masih memerlukan tumbuhan dan hutan untuk siklus hidrologi, yang kemudian mengolah air bersih, mendatangkan hujan, mengikat air hujan di dalam akar tumbuhan hutan yang kuat guna mencegah banjir, juga mengairi sawah, kebun, dan ladang pertanian. Dari tumbuhan pula dikeluarkan oksigen atau udara yang kita hirup secara nyaman. Selama ini, oksigen masih diperoleh secara gratis dari alam. Namun, ketika sakit, Anda memerlukan tabung oksigen yang harus dibayar mahal.

Hutan alam juga penting untuk kesehatan. Ilmuwan Jepang, Yoshifumi Miyazaki, meneliti, jika Anda sesekali berjalan ke hutan selama 20 menit, konsentrasi hormon stres menurun hingga 12,7 persen. Artinya, stres akan berkurang dibanding ketika Anda berada di perkotaan. Terapi ini bernama shinrinyuku (mandi hutan atau forest bath). Jadi, sesekali, pergilah ke hutan alam agar tingkat stres Anda turun. Mudah-mudahan hutan alam tidak jauh dari sekitar Anda.

Fachruddin M. Mangunjaya

Fachruddin M. Mangunjaya

Ketua Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional, Dosen S3 Fakultas Ilmu Politik Universitas Nasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus