Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Model Pertumbuhan Ekonomi Endogen

Pertumbuhan ekonomi endogen (endogenous economic growth) adalah model ekonomi yang mengoptimalkan potensi internal negara.

12 Februari 2019 | 07.06 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertumbuhan ekonomi endogen (endogenous economic growth) adalah model ekonomi yang mengoptimalkan potensi internal negara. Model ini mengutamakan sumber daya manusia dengan kekuatan ilmu pengetahuan, sumber daya alam, aset teknologi, dan kelembagaan. Pemikiran ini ditekuni secara konsisten sejak 1990-an oleh Profesor Romer, yang awalnya bergelar sarjana fisika sebelum menjadi ekonom andal. Hasil riset panjang ini akhirnya membawa Romer diganjar Hadiah Nobel Bidang Ekonomi pada 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan pada prasyarat model ekonomi endogen, sebenarnya Indonesia mempunyai peluang menjadi negara adidaya ekonomi. Kita memiliki sumber daya alam, kelembagaan modal sosial, otonomi daerah, aset fisik (infrastruktur), lembaga penelitian, dan perguruan tinggi. Tapi apakah kekuatan endogen itu sudah dikelola dengan baik? Inilah pekerjaan rumah semua komponen bangsa agar model pertumbuhan ekonomi endogen ini bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dampak kesejahteraan dari model pertumbuhan ekonomi endogen ini banyak terbukti di berbagai negara. Penguatan faktor internal (endogen) akan menarik eksternalitas positif sebagai spillover pertumbuhan. Contohnya pertumbuhan Cina yang dimulai dengan penguatan faktor dan kelembagaan endogen. Jack Ma juga menggarap usaha kecil dan menengah di bidang pangan, kerajinan tangan, riset, serta modal manusia yang tekun, rajin, bekerja keras, dan berkolaborasi. Jadilah Cina raksasa ekonomi dunia yang terus tumbuh.

Teori pertumbuhan ekonomi endogen inilah yang saya gunakan dalam dua tulisan tentang ekonomi dan universitas di Koran Tempo (11 Desember 2018 dan 18 Januari 2019). Salah satu faktor endogen yang saya ambil adalah universitas. Sayangnya, banyaknya perguruan tinggi tidak memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan. Bahkan faktor jumlah itu justru menjadi beban negara. Maka saya menyarankan adanya merger untuk mereduksi jumlah kampus.

Kali ini saya ingin menyoroti faktor endogen yang sangat penting, yaitu sumber daya manusia yang berpengetahuan dan berketerampilan alias modal manusia. Faktor ini sangat berkaitan dengan lembaga pendidikan. Kelemahan dalam menangani pendidikan ini efeknya akan fatal.

Tidak dapat dimungkiri bahwa Indonesia pernah menikmati kue pembangunan ketika kandungan minyak kita masih bagus. Dalam hal pangan (beras), kita juga telah mengubah keadaan, dari pengimpor beras menjadi swasembada. Tapi kita lupa membenahi unsur endogen kelembagaan pemerintah, riset, pendidikan, tata kelola sumber daya alam, dan pendidikan karakter. Akhirnya, pada 1998 kita harus menanggung krisis multidimensi akibat korupsi, kolusi, dan nepotisme hingga terjadilah reformasi.

Solusi yang ditawarkan di era Reformasi sepertinya tidak menukik pada esensi persoalan. Penguatan sumber daya manusia yang berkarakter, berkepribadian, berpengetahuan, dan berketerampilan itu luput dari pembenahan. Kita terus meloncat ke otonomi daerah dan demokratisasi politik. Maka terjadilah politikus instan, pejabat karbitan, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, korupsi marak, dan hoax. Semua itu kontraproduktif bagi pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.

Demografi adalah faktor endogen yang harus kita benahi secara sungguh-sungguh. Apalagi kita sedang menikmati bonus demografi yang akan memuncak pada 2045. Kesempatan emas itu harus disiapkan sejak sekarang.

Untuk itu, perlu dibuatkan grand design demografi yang menjabarkan program-program untuk anak usia di bawah 15 hingga di atas 25 tahun. Merekalah yang akan mengisi pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang.

Melihat perkembangan dunia yang dicirikan dengan kekuatan bioteknologi dan info-teknologi, intinya manusia Indonesia harus kuat dengan karakter soft skill dan kompetensi hard skill. Biologi mengindikasikan karakter dan info-teknologi mengindikasikan kompetensi hard skill.

Karakter itu termasuk komponen endogen ekonomi, yakni manusia pekerja keras, mampu berkolaborasi, jujur, inovatif, dan saling percaya. Dalam teori kompetensi, faktor soft skill mengisi sekitar 80 persen kesuksesan. Pendidikan karakter ini menjadi fondasi pembangunan jangka panjang. Institusi pendidikan, dari pendidikan anak usia dini sampai perguruan tinggi, harus menguasai dan menyuasanakan komponen soft skill ini dalam intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.

Komponen hard skill tentu sangat diperlukan untuk menjawab teknikalitas pembangunan sesuai dengan zaman, sehingga kemampuan belajar dan daya adopsi manusia Indonesia harus tinggi. Mereka harus bisa berselancar dalam keadaan yang mudah berubah, tidak pasti, kompleks, dan ambigu.

Selain itu, sumber daya alam adalah unsur endogen yang kaya di Indonesia. Misalnya kopi. Hampir seluruh daratan Indonesia bisa ditanami kopi dan saat ini kopi termasuk komoditas ekonomi kesenangan dunia. Dengan kekuatan teknologi hulu-hilir dan pemasaran, kita bisa menjadi pusat peradaban kopi. Dengan penataan sumber daya manusia, aset fisik, kelembagaan, dan lembaga riset, sumber daya alam ini telah menjadi komponen dalam model ekonomi endogen.

Semua itu sudah kita miliki, sehingga tidak mustahil kita menjadi negara maju. Untuk itu, kita harus punya paradigma politik untuk kesejahteraan, bukan untuk kekuasaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus