Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panglima TNI terpilih, Jenderal Agus Subiyanto, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus mampu meletakkan kepentingan bangsa serta negara di atas kedekatan pribadi mereka dengan Presiden Joko Widodo. Mereka tidak boleh menggerakkan pasukan dan sumber daya TNI/Polri untuk kepentingan salah satu pasangan calon presiden dalam Pemilihan Umum 2024, meski putra Presiden, Gibran Rakabuming Raka, adalah salah satu kontestan. Kegagalan mereka menjaga netralitas tentara dan polisi akan berujung pada kemunduran drastis proses reformasi aparatur keamanan kita yang diperjuangkan sejak 1998.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekhawatiran publik soal profesionalisme Agus Subiyanto dan Listyo Sigit memang santer terdengar belakangan ini. Rumor kedekatan mereka dengan Presiden membuat isu ini makin kuat. Keduanya disebut-sebut sebagai bagian dari "Geng Solo", sebuah kelompok elite di seputar Istana yang berisi pucuk pimpinan di TNI dan Polri yang merintis karier mereka bersama Jokowi sejak ia menjadi Wali Kota Solo. Cepatnya proses pengajuan Agus menjadi Panglima TNI, misalnya, konon ditopang faktor kedekatan personal tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuatnya rumor mengenai tidak netralnya aparatur pertahanan dan keamanan dalam Pemilu 2024 bahkan mendorong Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Panitia Kerja Netralitas TNI pada awal November lalu. Panitia kerja yang beranggotakan unsur DPR dan pemerintah, termasuk di dalamnya Kapolri serta Panglima TNI, ini akan menjadi bagian penting dari upaya mengatasi berbagai potensi pelanggaran prinsip netralitas tentara dan polisi di lapangan.
Untuk saat ini, berbagai rumor yang beredar mengenai keterlibatan aparatur keamanan dalam upaya pemenangan salah satu calon presiden memang masih berupa syak wasangka. Meski beredar sejumlah video di media sosial yang konon menjadi bukti adanya operasi senyap untuk merugikan salah satu kubu, belum ada bukti bahwa terjadi pengerahan kekuatan yang masif dan sistematis dari pucuk pimpinan polisi serta tentara. Imbauan para calon presiden dan wakil presiden yang mendorong warga untuk melaporkan pengerahan sumber daya semacam itu patut disambut serta didukung.
Sejak era reformasi, selalu ada kekhawatiran TNI/Polri akan ditarik-tarik ke ranah politik praktis demi kepentingan salah satu kekuatan politik. Menjelang dimulainya masa kampanye Pemilu 2024, kecemasan ini rasanya tak berlebihan. Terlebih ada faktor cawe-cawe presiden yang belum pernah terjadi dalam pemilu sebelumnya. Biasanya kepala negara yang masa jabatannya akan berakhir tak lagi terlibat dalam urusan pemilihan penggantinya. Kali ini situasi jelas bakal berbeda karena putra presiden aktif adalah salah satu cawapres. Demi memenangkan pasangan Prabowo-Gibran, bukan tak mungkin Jokowi mengerahkan segenap kekuasaannya, termasuk menyalahgunakan posisinya sebagai panglima tertinggi TNI dan Polri.
Kita tahu netralitas TNI dan Polri dalam pemilu merupakan amanah reformasi yang diatur dalam TAP MPR RI Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri. Penegasan jati diri anggota TNI dan Polri sebagai aparatur negara yang netral juga diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 39 ayat 2 UU TNI menyebutkan “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis”. Adapun UU Polri Pasal 28 ayat 1 menyebutkan “Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis”.
Karena itu, pengerahan kekuatan polisi dan tentara untuk kepentingan salah satu calon presiden merupakan pelanggaran berat yang tak boleh dibiarkan. Adalah tanggung jawab Jenderal Agus Subiyanto dan Jenderal Listyo Sigit untuk memastikan korpsnya tidak dijadikan alat politik kelompok mana pun. Hanya dengan netralitas TNI/Polri, proses pemilu bisa berjalan jujur dan adil. Tanpa itu, demokrasi kita akan berantakan dan kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan dan keamanan akan rontok ke titik nadir.
Inilah ujian sejarah untuk Panglima TNI dan Kapolri. Tindakan mereka dalam Pemilu 2024 bisa menjadi catatan emas atau noda kotor dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia mencapai kematangan demokrasi seperti cita-cita reformasi 1998.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo