Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Meredam Radikalisme Jamaah Islamiyah

Densus 88 telah menangkap puluhan anggota JI di berbagai daerah. Perlu narasi dan ideologi tandingan untuk meredam penyebaran paham radikal JI.

5 Januari 2021 | 00.00 WIB

Petugas Detasemen Khusus (Densus) 88 membawa 1 dari 23 orang terduga teroris jaringan Jamaah Islamiyah (JI) yang ditangkap di Lampung tiba di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, 16 Desember 2020. ANTARA/Muhammad Iqbal
Perbesar
Petugas Detasemen Khusus (Densus) 88 membawa 1 dari 23 orang terduga teroris jaringan Jamaah Islamiyah (JI) yang ditangkap di Lampung tiba di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, 16 Desember 2020. ANTARA/Muhammad Iqbal

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Kepolisian RI mencatat sekitar 6.000 orang tergabung dalam jaringan organisasi teroris Jamaah Islamiyah.

  • Densus 88 telah menangkap puluhan anggota JI di berbagai daerah.

  • Perlu narasi dan ideologi tandingan untuk meredam penyebaran paham radikal JI.

Bagong Suyanto
Guru Besar dan Dekan FISIP Universitas Airlangga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Berbagai upaya telah dilakukan untuk meredam aksi terorisme di Indonesia. Namun hingga kini benih-benih terorisme tidak pernah mati. Seperti dilaporkan di berbagai media massa, akhir 2020 lalu, Densus 88 Antiteror kembali membongkar pusat pelatihan calon pemimpin Jamaah Islamiyah (JI) di Desa Gintungan, Semarang, Jawa Tengah.

Sebelumnya, Densus 88 telah menangkap puluhan anggota JI di Lampung. Kini, Densus 88 kembali menangkap sejumlah anak muda militan dan berprestasi dari berbagai pondok pesantren yang dipersiapkan menjadi pemimpin JI di pusat pengkaderan di Semarang. Menurut data Kepolisian RI, saat ini total ada 6.000 orang yang tergabung dalam jaringan organisasi teroris JI yang masih aktif di Indonesia.

Sepanjang November-Desember 2020, Densus 88 Antiteror menangkap 23 tersangka teroris yang tersebar di sejumlah wilayah. Dua anggota JI yang tertangkap itu di antaranya teroris yang menjadi aset bagi organisasi teroris. Mereka adalah Upik Lawanga dan Zulkarnaen. Upik Lawanga sendiri merupakan salah satu anggota JI yang dianggap sebagai penerus doktor Azahari, yang disebut-sebut sebagai dedengkot perakit bom yang sangat berbahaya.

Tak Pernah Mati

Memberantas terorisme hingga ke akar-akarnya bukanlah hal yang mudah. Sejumlah pelaku perakit bom berhasil ditangkap dan tidak sedikit kader yang juga telah diamankan. Meski demikian, selalu saja tumbuh sel-sel baru yang tak kalah militan. Secara garis besar, ada dua faktor yang menyebabkan mengapa jaringan dan aksi terorisme sepertinya tak pernah mati.

Pertama, berkaitan dengan solidaritas dan kohesi sosial yang terbangun kuat di antara sesama anggota JI. Sudah lazim terjadi di antara sesama anggota JI, mereka akan saling membantu dan melindungi. Anggota JI umumnya saling memberi bantuan dana agar tetap bisa bertahan. Anggota yang tidak memiliki penghasilan tetap biasanya akan mendapat bantuan dana dari JI pusat.

Dukungan dana untuk menjamin kelangsungan hidup anggota itu sebagian diperoleh dari yayasan yang bergerak di bawah naungan JI. Selain itu, berkat iuran anggota yang memiliki pekerjaan hingga kotak amal, banyak anggota JI yang dapat melangsungkan hidupnya. Mereka bisa hidup tanpa harus direcoki oleh urusan mencari pekerjaan atau menghidupi keluarganya. Menurut data kepolisian, saat ini paling tidak ada 20.068 kotak amal yayasan yang tersebar di 12 daerah yang diduga untuk mendanai kelompok JI.

Lebih dari sekadar dukungan dana, para anggota JI umumnya sangat solid menjaga rahasia dan saling melindungi. Tidak sedikit pula anggota JI yang bersikap militan dan terlatih untuk bertempur hingga melakukan aksi nekat yang berbahaya. Ada kecenderungan bahwa, semakin ditekan aparat, mereka justru semakin militan dan tidak segan melancarkan aksi yang menimbulkan korban jiwa berskala besar.

Kedua, berkaitan dengan pola rekrutmen anggota baru yang terus tumbuh dalam bentuk sel-sel kecil yang sulit dideteksi aparat penegak hukum. Di era digital seperti sekarang, mekanisme rekrutmen yang dikembangkan organisasi terorisme justru cenderung semakin masif memanfaatkan media sosial dan Internet.

Kelompok radikal ini memanfaatkan dunia maya untuk menyebarkan buku-buku serta informasi tentang jihad dan berbagai paham radikal tanpa bisa lagi dicegah (Tarmudzi, 2004). Anak-anak muda yang merupakan pengguna terbesar Internet umumnya menjadi salah satu kelompok yang terpapar informasi paham radikal ini. Kanal komunikasi dalam penyebaran ideologi radikal-keagamaan telah berubah dari kanal komunikasi tradisional (media televisi, radio, koran, majalah, brosur) ke penggunaan media baru (situs web, blog, vlog, dan media sosial).

Media baru kini memainkan peran penting. Selain lebih cepat, interaktif, dan meluas, penggunaan media sosial sebagai instrumen penyebaran paham radikal sering kali lebih efektif. Tanpa harus melakukan komunikasi tatap muka, rekrutmen kader-kader baru yang militan dapat dengan mudah dilakukan dalam skala yang benar-benar masif.

Studi yang dilakukan Bagong Suyanto dkk (2018) menemukan strategi kanalisasi ideologi radikal banyak dikembangkan oleh organisasi-organisasi radikal-keagamaan. Untuk mendapatkan kader-kader baru, mereka mengembangkan saluran "drainase" yang semakin menyempit dan mengarahkan aliran informasi ke tempat tujuan yang diinginkan. Dengan memanfaatkan media sosial, organisasi keagamaan seperti JI berpeluang merekrut anak-anak muda yang potensial dan cerdas. Mereka juga menjadi lebih mudah menebar jaring pemikat melalui pengaruh paham radikal yang dikemas sedemikian rupa.

Narasi Tandingan

Agar mata rantai persemaian benih-benih radikalisme dapat diputus, hal yang dibutuhkan sesungguhnya bukan hanya pendekatan hukum dalam bentuk operasi-operasi penyergapan. Selain tindakan punitif-represif, hal yang tak kalah penting adalah bagaimana mengembangkan narasi tandingan yang mampu mengimbangi daya tarik yang ditebar berbagai organisasi radikal seperti JI.

Di era perkembangan masyarakat digital, agenda penting untuk melawan terorisme dan perkembangan paham radikal adalah melalui perang wacana. Membangun wacana tentang bagaimana beragama dan bersikap yang moderat merupakan salah satu langkah taktis. Di samping itu, mengajak masyarakat memahami arti multikulturalisme adalah wacana yang perlu terus disebarluaskan di media sosial dan dunia maya.

Ketika interaksi bergeser ke ranah online dan akses informasi tidak lagi bergantung pada media cetak, perlu dikembangkan cara-cara baru. Bagaimana mencegah agar masyarakat, terutama anak muda, tidak terjerumus dalam konstruksi yang keliru dalam memahami arti berjuang di jalan agama merupakan agenda yang harus diutamakan. Hanya dengan menawarkan ideologi dan narasi tandinganlah perkembangan paham radikal akan dapat diredam.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus