Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Oposisi, Dilupakan Jangan

Pemerintahan telah berganti. Para pemimpin gerakan reformasi kini menjadi bagian dari pemerintahan. Lantas bagaimana dengan oposisi?

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUKSESI besar telah terjadi di Indonesia, pekan ini. Mereka yang sebelumnya dikenal sebagai tokoh oposisi di luar sistem, kini, menjadi pejabat dalam struktur kekuasaan. Gus Dur menjadi presiden dan Megawati terpilih sebagai wakil presiden di sidang MPR yang dipimpin oleh Amien Rais. Maka, muncul pertanyaan: siapa yang menggantikan peran mereka sebagai lokomotif gerakan oposisi bangsa ini? Secara teoretis, jawabannya mudah. Para wakil rakyat dari partai yang tidak berkoalisi dengan partai yang berkuasa seharusnya otomatis menyandang tugas ini. Di negara normal, para bekas pejabat penting dalam pemerintahan yang digantikan biasanya langsung menjadi oposisi. Sayangnya, menerapkan kebiasaan ini di Indonesia menumbuk sejumlah hambatan. Pejabat di era Orde Baru dan kelanjutannya kebanyakan mempunyai catatan yang berbau KKN. Karena itu, besar kemungkinan tempat yang cocok bagi mereka bukanlah kursi wakil rakyat, melainkan rumah tahanan. Lagi pula mereka yang mendapat kedudukan di zaman itu kebanyakan punya mental asal bapak senang dan jauh dari bersikap independen. Padahal, untuk menjadi oposisi yang efektif, sikap independen dan berani melawan arus merupakan faktor penting. Keadaan ini tentu membuat kita geregetan. Tapi rasa sabar agaknya memang mesti ditumbuhkan karena demokrasi tak dapat ditegakkan dalam sehari. Untuk tahap awal ini, yang lebih penting adalah memberdayakan dulu DPR sebagai institusi penyalur aspirasi rakyat. Ini mudah diucapkan tapi diperlukan perjuangan keras untuk membuatnya menjadi kenyataan. Masyarakat, melalui pers ataupun secara langsung, harus terus-menerus menekan para wakilnya agar berfungsi penuh. Upaya ini boleh jadi akan terasa melelahkan, menjemukan, dan—bukan tidak mungkin—membuat kita merasa bagai tokoh Sisipus yang mendorong batu ke atas gunung berulang-ulang. Tapi demokrasi dan kebebasan memang tak pernah didapat dengan gratis dan merupakan keadaan yang harus diperjuangkan, dipelihara, dan dijaga dengan kewaspadaan yang tinggi. Salah satu godaan yang harus diwaspadai itu adalah munculnya kebosanan, bahkan kekesalan terhadap munculnya perbedaan pandangan. Sebab, dalam kondisi sekarang ini, mereka yang berada di pemerintahan sedang mendapat dukungan rakyat, sementara orang ramai cenderung sedang sebal kepada para penentang mereka di Senayan. Upaya untuk mengatasi godaan ini hanyalah dengan mengingat kembali bahwa esensi dari demokrasi adalah toleransi terhadap perbedaan pendapat. Tanpa itu, demokrasi akan tersingkir, ke tempat yang asing dan sepi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus