Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amiruddin al-Rahab
Komisioner Komnas HAM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat pusara berjajar di dekat halaman Markas Komando Rayon Militer Paniai Timur, Enarotali, Papua. Isinya empat remaja yang tewas diterjang peluru seusai aksi massa pada 8 Desember 2014, di Lapangan Karel Gobay. Begitulah cara masyarakat Paniai memprotes otoritas negara secara langsung dan terus terang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo pernah berjanji akan secepat mungkin menyelesaikan secara hukum peristiwa ini saat bertemu dengan masyarakat Papua di Stadion Mandala, Jayapura, 27 Desember 2014. Sudah lebih dari lima tahun pusara itu berada di sana, tapi kasus ini tak kunjung selesai.
Saat semua pihak seakan-akan berpangku tangan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyelesaikan penyelidikan atas peristiwa ini. Namun Jaksa Agung enggan menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Paniai. Bahkan, akhir Mei lalu, Jaksa Agung mengembalikan berkas penyelidikan tersebut ke Komisi. Sikap Jaksa Agung itu tentu akan menggerus kepercayaan masyarakat Papua terhadap langkah pemerintah dalam menangani berbagai persoalan di provinsi itu.
Bukan kali ini saja Jaksa Agung bersikap begitu. Pada 2003, Jaksa Agung juga bersikap sama terhadap hasil penyelidikan Komnas HAM atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Wamena dan Wasior. Sudah 17 tahun berkas hasil penyelidikan Komnas HAM didiamkan oleh Jaksa Agung dengan berbagai alasan.
Peristiwa Paniai diawali cekcok antara beberapa remaja dan serombongan tentara yang melintas di dekat sebuah pondok pada malam hari untuk memperingati hari Natal pada 7 Desember 2014. Tentara yang merasa tersinggung karena diteriaki menyerang para remaja itu. Para remaja tersebut mengadu kepada orang tua mereka. Penduduk sekitar lalu turun tangan dan meminta tentara yang menyerang itu ditindak secara hukum.
Pada 8 Desember pagi, ketidakpuasan masyarakat berkembang menjadi aksi massa. Jalanan menuju Kota Enarotali ditutup massa. Upaya polisi untuk menenangkan mereka tidak berhasil. Massa kemudian bergerak ke Lapangan Karel Gobay. Sebagian pengunjuk rasa melempari perkantoran di dekat lapangan. Polisi dan tentara melepaskan tembakan. Tiga remaja tewas pun tertembak dan tertusuk dalam peristiwa itu.
Kepolisian RI membentuk tim gabungan untuk memeriksa kasus ini. Namun, sayang, hasilnya tidak jelas ujungnya. Pada Mei 2015, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan membentuk tim terpadu yang terdiri atas Kepolisian RI, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan kejaksaan. Laporan mereka telah disampaikan kepada Menteri, tapi tindak lanjutnya tidak pernah terdengar.
Dalam pandangan Komnas HAM, peristiwa Paniai tidak boleh dibiarkan tanpa kejelasan proses hukum dan pertanggungjawabannya. Dalam norma HAM, pembiaran terhadap sebuah peristiwa kehilangan nyawa seseorang tanpa proses hukum merupakan bentuk pelanggaran HAM. Pembiaran bisa pula dikategorikan sebagai bentuk perbuatan menunda keadilan untuk korban dan keluarganya.
Banyak peristiwa kekerasan terjadi di Papua, tapi tak ada satu pun yang sudah dipertanggungjawabkan. Isu HAM di Papua merupakan isu yang terus-menerus muncul. Jadi, negara seharusnya tidak diam serta menindak pihak yang diduga sebagai pelaku dan penanggung jawabnya.
Korban kekerasan itu berasal dari semua pihak, baik penduduk biasa, orang-orang yang diduga anggota kelompok bersenjata, maupun aparat keamanan. Sesungguhnya jatuhnya korban nyawa terus-menerus di Papua itulah yang hendak dicegah oleh Komnas HAM. Sikap saling curiga terus berkembang dan kebencian terus membiak. Jika suasana itu terus terjadi, kita sebagai bangsa akan kehilangan kesempatan dan tidak tahu lagi cara untuk menyelesaikan persoalan di Papua.
Untuk peristiwa Paniai, pemerintah tidak cukup sekadar berputar-putar pada aturan formal pembuktian, tapi juga harus bertumpu pada upaya pembenahan politik negara. Peristiwa seperti Paniai hanya bisa terjadi karena adanya keputusan negara. Paniai termasuk daerah rawan yang menjadi sasaran Operasi Aman Matoa, yang dilancarkan setiap menjelang Desember. Penentuan status daerah rawan ini tentu merupakan keputusan politik untuk merespons perkembangan kondisi politik pula.
Dalam setahun ini, suhu politik di Papua meningkat tajam, khususnya setelah terbunuhnya 21 pekerja konstruksi jembatan di Nduga pada Desember 2018, yang diduga dilakukan oleh kelompok bersenjata. Hal ini ditambah aksi-aksi protes yang memakan korban jiwa di beberapa kota Papua sebagai respons atas aksi berbau rasialisme di Surabaya pada Agustus 2019. Bahkan, dalam bulan-bulan belakangan ini, beberapa anggota Polri dan TNI menjadi korban penembakan kelompok bersenjata. Untuk semua peristiwa itu, belum satu pun proses hukum ditegakkan.
Hasil penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa Paniai seharusnya dapat dijadikan pintu masuk bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa keadilan bisa hadir di Papua. Sebab, dalam peristiwa Paniai ini, jelas-jelas korbannya adalah para remaja sekolah menengah atas. Ketika Jaksa Agung mengembalikan berkas hasil penyelidikan Komnas HAM, itu sama artinya dengan Jaksa Agung menutup rapat pintu keadilan bagi korban di Paniai. Peristiwa Paniai bukanlah permasalahan antara Komnas HAM dan Jaksa Agung, melainkan permasalahan bangsa ini. Komnas HAM sudah menunjukkan tanggung jawabnya, silakan lembaga lain juga menunjukkan tanggung jawabnya. Jangan sampai bangsa ini kehilangan kesempatan untuk mengoreksi kebijakan-kebijakan negara yang keliru di Papua.