KEMELUT yang melanda Universitas Nasional Jakarta berakhir di pengadilan. Ketua majelis hakim Haslim Hasyim dari Pengadilan Jakarta Selatan dalam amar putusannya Kamis pekan lalu memerintahkan agar kampus itu dikosongkan dan segera diserahkan kepada Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) yang dipimpin Sutan Takdir Alisjahbana. Selain itu, Hakim Haslim juga minta para tergugat, Oesman Rachman dkk., mengembalikan uang senilai hampir Rp 200 juta, dan memerintahkan Ditjen Hukum dan Perundang-undangan membatalkan lembaran negara nomor 90 tahun 1992 tentang akta YMIK versi Oesman Rachman dkk. yang dinilai pengadilan tidak sah lagi. Dengan keputusan ini, untuk sementara, Sutan Takdir -- pendiri universitas itu tahun 1949 -- berada di atas angin. Namun, Takdir toh masih menghadapi tahap berikutnya, karena Oesman Rachman dkk. (termasuk 21 tergugat lainnya) menyatakan naik banding. Pentas di pengadilan itu sebetulnya sekadar ekor rangkaian konflik antara Sutan Takdir dan Oesman Rachman -- salah satu pengurus yayasan -- sejak beberapa waktu lalu. Para dosen terkotak-kotak dalam berbagai klik dan kepentingan, yakni antara pendukung Sutan Takdir dan penentangnya -- di bawah Oesman Rachman dkk. Mereka menganggap, Sutan Takdir, 85 tahun lebih, sudah tua dan terlalu lama memimpin universitas itu. Ada manuver untuk menyingkirkannya. Sampai akhirnya, Oesman Rachman memecatnya dari jabatan rektor. Bahkan, kelompok penentang Takdir ini juga mengangkat Oesman Rachman sendiri sebagai penjabat rektor. Ini membuat Sutan Takdir membalasnya dengan memecat balas Oesman Rachman dkk. Akibatnya, suasana perkulihan menjadi tak menentu. Mahasiswa dan dosen terbelah yakni pro Sutan Takdir atau pendukung Oesman Rachman. Demo berbalas demo. Kedua pihak ingin tetap menguasai kampus. Bahkan yayasan yang memayunginya, YMIK, pun menjadi dua versi. Oesman Rachman, pada Juli 1992, diangkat kelompoknya menjadi Ketua YMIK. Dan ini menjadi sah setelah masuk lembaran negara nomor 90, 10 November 1992. Untuk meredam gejolak, Sutan Takdir mengangkat Prof. Achmad Baiquni sebagai rektor -- atas usul ketua yayasan, Iskandar Alisjahbana. Namun, cara Baiquni mengatasi kemelut rupanya tak berkenan di hati Sutan Takdir. Baiquni mempekerjakan kembali 15 dosen yang dipecat Takdir sebelumnya. Setelah sebulan menjadi rektor, Baiquni pun dipecat. Sebagai gantinya, Sutan Takdir menunjuk Burhan Magenda sebagai ketua presidium memimpin Unas sampai terpilih rektor baru (TEMPO, 17 April 1993). Namun, kelompok Oesman Rachman dengan serta-merta mendukung Baiquni agar tetap bertahan sebagai rektor. Maka, sanksi yang dijatuhkan Sutan Takdir itu tak digubris. Baiquni merasa didukung Pemerintah dan yayasan yang sah versi Oesman Rachman -- berdasarkan akta yang dimuat di lembaran negara 10 November 1992 itu. Apalagi, Baiquni juga mendapat dukungan dari Departemen P dan K. Ditjen Pendidikan Tinggi, dalam suratnya 28 Mei 1993, misalnya, mengakui Baiquni dan memintanya mengaktifkan lembaga senat guna memilih rektor yang baru. Dan ternyata, seperti kata juru bicara Unas Mustafa Aminullah, "Senat Unas telah mengukuhkan Baiquni sebagai rektor periode 1993-1998. Jadi, secara prosedural, Baiquni sah sebagai rektor." Sementara itu, kelompok Sutan Takdir tetap mendukung Burhan Magenda. Dan, boleh dikatakan, Unas lalu diwarnai "serbakembar". Sampai-sampai, panitia penerimaan mahasiswa baru pun kembar -- versi Sutan Takdir atau Oesman Rachman. Maka, pimpinan YMIK Sutan Takdir dan Iskandar Alisjahbana pun menggugat Oesman Rachman dkk. -- termasuk Baiquni -- dan Ditjen Hukum dan Perundang-undangan yang mengesahkan akta yayasan tersebut ke pengadilan. Dengan pembatalan akta itu, berarti pengadilan juga memerintahkan Oesman Rachman dkk., sebagai tergugat, mengosongkan kampus Unas di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dan menyerahkannya ke YMIK versi Sutan Takdir. Walau menang, Sutan Takdir rupanya tak hendak gegabah dengan kubu Oesman Rachman, yang kini mengendalikan kampus universitas swasta yang membawahkan sembilan fakultas itu. "Kalau mereka mengakui kesalahannya dan mau minta maaf, kami tetap membolehkan mereka menjadi dosen. Juga Baiquni tetap saya izinkan mengajar matematika," kata Sutan Takdir. Tapi, rupanya kubu Oesman Rachman belum mau menerima "uluran perdamaian" Takdir. Kecuali naik banding, mereka berniat akan tetap menguasai kampus. "Kami tetap di sini untuk memimpin YMIK, dan Baiquni tetap Rektor Unas," kata Oesman Rachman. Sementara itu, Baiquni sendiri bersikap lebih hati-hati. "Buat saya, itu tak apa-apa," katanya kepada TEMPO di Palembang. "Tapi tak berarti saya menolak atau menerima putusan itu." Dan kemenangan itu, menurut anggota majelis hakim Pieter S. Purba, tak ada kaitannya dengan siapa yang berhak menjadi rektor. Pengadilan, katanya pada TEMPO, hanya memutuskan akta YMIK mana yang sah dan tidak. Jadi, "Keputusan kami ini murni hukum, tak ada faktor politisnya," kata hakim anggota yang lain, Soetrisno. Memang, Sutan Takdir boleh dikatakan setapak lebih maju dengan keputusan pengadilan itu. Namun, agaknya, jalan masih cukup panjang bagi penulis roman Layar Terkembang ini untuk meredakan prahara di kampusnya.Agus Basri dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini