Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
… dia menebarkan ketakutan di benak para musuh kami, dia memberi kekuatan yang lebih hebat ketimbang 1.000 bek dan 10.000.000 kiper.”— Ri Myong-guk, penjaga gawang Korea Utara, menjelang pertandingan di Piala Dunia.
Tuhan dan Kim Jong-il tak datang ke Afrika Selatan. Tapi tiap kesebelasan yang bertanding di Sokkerstad yang mirip belanga Afrika itu harus mengerahkan kekuatan apa saja, termasuk yang gaib, untuk menang. Bagi kiper Korea Utara, Ri Myong-guk, yang gaib adalah kepala negaranya, Kim Jong-il. ”Dia pemain terpenting kami,” katanya tentang tokoh sakit-sakitan yang malam itu mungkin sedang terbaring di Istana Presiden di Pyongyang, 12.447 kilometer jauhnya dari Johannesburg.
Syahdan, pada malam dingin menggigit itu, Ri dan 10 kawannya berjuang. Ratusan juta penonton di seluruh dunia menyaksikan bagaimana tim Korea Utara bermain gigih, rapi, efektif.
Tapi mereka melawan Brasil, juara dunia lima kali. Mereka kalah: 2-1—meskipun kalah dengan bangga, karena mereka telah menunjukkan permainan yang mengesankan. Dunga, manajer tim Brasil, mengakui, ”Sangat berat menghadapi lawan yang begitu gigih dan begitu defensif.” Kata Ri, yang memimpin lini belakang, ”Saat menjaga gawang rasanya seperti menjaga gerbang tanah airku.”
Kalimat itu hiperbolik, memang. Kita tak tahu, tuluskah Ri atau tidak. Sepak bola di Piala Dunia punya daya yang ganjil. Ia bisa membuat orang (pemain atau penonton) merasa bagian dari sebuah puak besar yang berapi-api, dari rambut sampai kuku kaki, mendukung sebuah tim nasional. Ketika sebelum pertandingan Aegukka, lagu kebangsaan Korea Utara, dinyanyikan, (”Tekad yang teguh, dipertaut Kebenaran, akan maju tegap ke dunia.”), Jong Tae-se, pemain nomor 8, menangis.
Antara tulus dan tak tulus, antara ekspresi yang berlebihan dan tidak, tampaknya tak ada garis yang jelas di Korea Utara.
Korea Utara bukan lagi sebuah bangsa; ia sebuah umat. Marxisme-Leninisme sudah bertransformasi jadi agama. Sebagaimana agama, ia membentuk struktur yang direkatkan oleh doktrin. Agama juga butuh batu-sangga yang menopang dan mempertautkan bagian-bagian bangunan itu. Bagi agama pada umumnya, batu-sangga itu Tuhan; bagi ajaran juche sebagai ideologi Korea Utara, batu itu Kim Il-sung. Setelah Kim tua wafat dan putranya, Kim Jong-il, menggantikan peran itu.
Maka sejak masa kanak, rakyat Korea dibentuk untuk memuja Kim. Sebuah studi yang dikutip The Christian Science Monitor menunjukkan besarnya dana untuk itu. Sementara pada 1990 biaya untuk pemujaan sang pemimpin meliputi 19 persen anggaran nasional, pada 2004 naik jadi 38,5 persen. Pada masa krisis, ketika alokasi buat pertahanan dan kesejahteraan rakyat diperkecil, dana untuk sekolah ideologi justru naik. Biaya itu meliputi perawatan 30.000 monumen Kim, festival olahraga, film, buku, billboard, mural, dan seterusnya.
Belum lagi buat pendidikan sekolah. Di sini, indoktrinasi untuk memuja sang Ketua sangat intensif: antara 304 dan 567 jam pelajaran. Para murid SD harus mempelajari sejarah masa kecil Kim Il-sung 152 jam dan Kim Jong-il juga demikian. Di Universitas Kim Il-sung di Pyongyang ada enam fakultas yang khusus mengajarkan riwayat dan pemikiran kedua Kim Bapak dan Kim Putra.
Dalam sejarah pemerintahan partai komunis, ini melebihi takaran. Tapi sesuatu yang sebelumnya hanya terdapat pada zaman Nazi Hitler dan Fasisme Mussolini ternyata bisa terjadi di kubu sosialis. Di Uni Soviet, muncul fenomena Stalin, yang memimpin Uni Soviet sejak 1922 sampai wafat pada 1953. Di Cina: Mao Zedong, yang jadi Ketua Partai sejak 1943 hingga 1976.
Tentang Stalin, seorang penyair menulis, dengan hiperbol lain:
Wahai, Stalin yang agung
Tuan-lah yang menyuburkan tanah
Tuan-lah yang memulihkan abad
Tuan-lah yang mengembangkan bunga di Musim Semi
Tentang Mao, seorang prajurit yang diangkat jadi manusia tauladan oleh Partai, Li Feng, menulis catatan hariannya yang terdiri atas 200.000 kata. Hampir semuanya penuh pujaan:
”Bagiku, karya Ketua Mao ibarat makanan, senjata, dan kemudi. Kita harus makan dan dalam berperang kita harus bersenjata. Tanpa kemudi, kita tak dapat mengendarai mobil, dan tanpa mempelajari karya Mao Zedong orang tak dapat menempuh karier revolusioner.”
Barangkali manusia selalu butuh pujaan—Tuhan, Nabi, atau Sang Pemimpin. Mungkin juga kultus itu merupakan respons dari suasana cemas akan terjadinya disintegrasi, yang pada 1960-an tampak juga di Indonesia, dengan Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
Tapi ada kombinasi yang ampuh yang menyebabkan kultus sang pemimpin berkembang: paduan antara kekuasaan politik dan kata-kata yang mendukungnya.
Namun ada batas dan bahaya. Ketika untuk meneguhkan sebuah kekuasaan sederet kata jadi doktrin, dan doktrin jadi slogan, dan slogan jadi mantra, manusia hidup terasing dari proses bahasa. Ia hanya menghafal. Ia makin tak pasti dengan makna kata yang diucapkannya. Ia juga makin kurang yakin akan tafsir yang datang dari dirinya sendiri, karena makna ditentukan para penguasa. Pada gilirannya, para penguasa (elite Partai, misalnya) juga mengalami keterasingan, karena dalam keseragaman slogan, mereka tak tahu di mana kata-kata sendiri.
Walhasil, akhirnya perlu satu Kata: apa yang disabdakan Sang Pemimpin.
Dan lahirlah hiperbol: sindrom rasa cemas kepada makna, karena makna tak dikuasai lagi. Dengan kalimat yang berlebihan, seseorang mencoba meyakinkan diri dan pendengarnya bahwa bahasa harus diberi tenaga ekstra, agar sedikit kembali berarti.
Demikianlah Kim Jong-il muncul di kepala dan mulut Ri Myong-guk. Ia Tuhan yang mencemaskan. Ia juga Tuhan yang menenangkan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo