Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Penembak Gajah dan Rekonsiliasi Pasca-Pemilu

Ada dua tilikan yang perlu dicatat sebagai refleksi pasca-pemilihan umum serentak 2019.

7 Mei 2019 | 02.40 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Komisi Pemilihan Umum menggelar rapat pleno Rekapitulasi Nasional Pemilu Luar Negeri di Kantor KPU RI, Jakarta, 4 Mei 2019. TEMPO/Ahmad Faiz

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

M. Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada dua tilikan yang perlu dicatat sebagai refleksi pasca-pemilihan umum serentak 2019. Pertama, tilikan teknis. Di sini sorotan kita ke arah banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal. Hal ini memicu perbincangan perlunya perbaikan ke depan: apakah sistem pemilu diperbaiki atau sekadar teknis kepemiluannya. Kedua, ini terkait dengan apa yang hendak saya bahas di tulisan ini, tilikan residu conflictual.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Posisi dan peran elite sangat strategis sebagai kunci proses rekonsiliasi pasca-pemilu. Elite cukup menentukan dinamika politik, konsensus, dan konflik. Elite dapat merepresentasikan kelembagaan politik (partai-partai politik). Elite bisa pula berperan dalam meredakan panasnya suhu politik akibat kontestasi yang ketat polarisasinya. Dalam konteks ini, ada dua macam elite yang pokok, elite-elite partai politik atau elite yang terlibat dalam proses kontestasi secara langsung dan elite tradisional di masyarakat atau para tokoh masyarakat (elite agama, adat, akademikus, dan sebagainya). Mereka punya peran strategis dalam memperkuat rekonsiliasi pasca-konflik politik sebagai dampak pemilu serentak.

Di lapisan elite politik yang terlibat kontestasi, mereka harus mengupayakan konsensus baru dalam bingkai demokrasi. Syaratnya, semua pihak mengakui hasil pemilu, menyelesaikan masalah melalui jalur hukum yang bermartabat, dan memperkuat konstelasi politik dalam menggelar mekanisme demokrasi pada penyelenggaraan pemerintahan (sistem presidensial) dalam bingkai konstitusi. Biasanya, manakala konstelasi politik baru terbentuk, seiring dengan itu pula konflik di ranah elite politik mereda, mengingat mereka telah sama-sama bekerja dalam lanskap politik baru secara "checks and balances".

Masyarakat yang terpolarisasi tajam memerlukan ikhtiar ekstra dari elite dalam menenangkan dan menyatukan kembali. Ikhtiar ini tidak mudah, bahkan tak akan mengalami kemajuan, manakala sebagian elite tidak punya ketulusan. Elite model ini cenderung membiarkan residu konflik, ketika masyarakat tenggelam dalam arus "demokrasi perasaan" (democracy of feeling), istilah yang digunakan William Davies dalam Nervous States, How Feeling Took Over The World (2018).

Selain itu, elite juga gagal dalam proses rekonsiliasi apabila tidak berani menghadang "emosi massa" yang terlanjur menguat persepsi destruktifnya. Residu konflik bahkan sering kali masih kuat ketika ranah elite sudah mereda. Tidak mudah untuk meredakan "emosi masyarakat" akibat provokasi elite yang dilakukan secara sistematis dan dipropagandakan melalui beragam hoaks di media sosial. Dalam perspektif ini, elite diasumsikan ikut mengolah dan memperbesar "emosi masyarakat". Namun, setelah kontestasi usai, elite malah kesulitan untuk meredakan "emosi masyarakat" tersebut.

Kita ingat "sindrom menembak gajah" dalam esai George Orwell, Shooting an Elephant (1936), ketika Orwell tak kuasa mengendalikan massa di belakangnya yang penuh amarah dan antusias terus mendesak agar seekor gajah ditembak. Padahal, sang gajah tidak lagi mengamuk. Orwell sebagai tokoh utama dan satu-satunya pemegang senjata, tak punya pilihan selain menembak. Wibawanya sebagai elite hancur manakala ia tak melakukannya, padahal keinginannya bertolak belakang dengan kehendak massa. "Sindrom menembak gajah" merupakan catatan betapa elite pun sesungguhnya tidak mudah mengendalikan "emosi massa" atau eskalasi irasional masyarakat yang sudah telanjur punya "persepsi sendiri", padahal persepsi itu tak lepas dari "bentukan elite".

Maka, kita kembalikan ke niat para elite yang terlibat kontestasi: sejauh mana mereka punya ketulusan berdemokrasi? Kalau mereka punya niat baik dalam rekonsiliasi, mereka tak akan terjangkiti "sindrom menembak gajah". Mereka berani menjelaskan ke masyarakat bahwa gajah tidak perlu ditembak. Tak perlu ada korban selanjutnya. Demokrasi tak boleh dilukai semakin dalam.

Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan para elite dalam rekonsiliasi. Pertama, pendekatan aktual. Harus menyeringkan kegiatan-kegiatan dialog rekonsiliasi dengan pendekatan kultural, termasuk keagamaan. Kedua, pendekatan virtual, mengingat "virus hoaks" yang bertebaran sangat ampuh mempengaruhi pikiran negatif masyarakat. Pendekatan ini dilakukan dengan menyuntikkan "virus positif" antihoaks sehingga terbangun kembali persepsi positif yang jauh dari prasangka sehingga masyarakat kembali hadir sebagai partisipan demokrasi yang baik.

Rekonsiliasi adalah bagian integral dari konsolidasi kebangsaan jangka panjang dan pekerjaan rumah yang sangat besar sejak kemerdekaan. Ia terkait dengan apa yang pernah dilontarkan oleh Bung Karno tentang "nation and character building", proses kita menjadi bangsa yang bersifat dinamis, terus-menerus, melibatkan segenap warga bangsa dalam menjawab tantangan yang semakin kompleks.

Demokrasi harus memperkuat integrasi. Jangan justru memberi celah bagi disintegrasi. Dan, semua itu tergantung para elite dan masyarakatnya. Demokrasi harus kita ikhtiarkan terus-menerus sebagai berkah kebangsaan, bukan dianggap selalu menyisakan beban.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus