Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Makin Kuat Negara Merampas Tanah Masyarakat

Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 78/2023. Cara baru pemerintah merampas tanah masyarakat untuk pembangunan.

27 Desember 2023 | 00.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/Kendra Paramita
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kendra Paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

HASRAT Presiden Joko Widodo memuluskan investasi dan pembangunan makin menjadi-jadi. Pada 8 Desember lalu, Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2023 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional. Peraturan itu merevisi aturan Nomor 62 Tahun 2018 dengan menambah kewenangan pemerintah mengambil tanah untuk proyek-proyek strategis nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Merevisi enam pasal lama dan menambah dua pasal baru, peraturan Jokowi itu pada dasarnya mengatur ketentuan ganti rugi bagi masyarakat yang tanahnya terkena dampak pembangunan. Masalahnya, ganti rugi itu berlaku bagi mereka yang telah menduduki tanah tersebut minimal sepuluh tahun. Namun penentuan jangka waktu penguasaan tanah oleh masyarakat itu ditentukan oleh gubernur seperti diatur dalam Pasal 5 ayat 2.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Ketentuan-ketentuan itu jelas memberi kuasa kepada aparatur negara untuk merampas tanah masyarakat. Pemerintah akan memberi ganti rugi kepada penduduk yang tinggal di atas lahan yang tertimpa proyek negara dengan membuktikannya lewat sertifikat. Mereka yang tak punya sertifikat harus membuktikan diri tinggal di sana selama sepuluh tahun. Jika keduanya tak terbukti, negara sah mengambil alih tanpa ganti rugi.

Ketentuan tanpa sertifikat dan jangka waktu ini jelas menyasar tanah-tanah masyarakat adat, seperti penduduk yang tinggal di Pulau Rempang di Batam, Kepulauan Riau. Masyarakat adat umumnya tak memiliki tanda identitas yang diakui negara secara individu ataupun kelompok. Menurut Badan Registrasi Wilayah Adat—lembaga swadaya masyarakat—dari 1.091 peta wilayah adat, baru 667 yang diakui negara.

Sisa wilayah yang belum diakui pemerintah, menurut Perpres 78/2023, adalah tanah milik negara. Ketentuan ini jelas melanggar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang memisahkan hutan adat dengan hutan negara. Bagi masyarakat adat, hutan adat merupakan entitas tak terpisahkan dari wilayah adat mereka.

Dari kronologi pembuatannya, Perpres Nomor 78 ini agaknya hendak memuluskan pembangunan Rempang Eco-City yang tersendat karena dihadang masyarakat pada September lalu. Di pulau seluas 16.583 hektare ini tinggal lebih dari 7.500 penduduk yang menghuni 16 kampung tua sejak 1834. Pemerintah hendak menggusur mereka dengan tuduhan tak memiliki sertifikat tanah. Penggusuran gagal karena penduduk menolak pembangunan tersebut.

Hanya sepekan setelah Perpres Nomor 78 ini terbit, Wali Kota Batam yang kini merangkap Ketua Badan Pengelola Batam Muhammad Rudi menggelar sosialisasi peraturan ini. Menurut dia, perpres ini akan memberi landasan bagi pemerintah untuk memberi ganti rugi kepada masyarakat Rempang. Dengan kata lain, hanya ada satu opsi di Rempang, yakni penggusuran.

Meski ditujukan untuk menyelesaikan Rempang, peraturan ini akan berdampak luas karena berlaku secara umum. Maka, bukannya meredam konflik agraria, peraturan Jokowi ini akan makin membakar konflik ruang hidup yang sudah merebak di mana-mana. Tahun lalu, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat 212 konflik tanah, naik dari tahun sebelumnya sebanyak 202.

Di luar soal itu, dampak sosial penguasaan ruang yang berkorelasi dengan lingkungan dan hak asasi manusia semestinya tak cukup hanya diatur melalui perpres. Apalagi isinya bertentangan dengan banyak undang-undang. Agaknya, sudah menjadi praktik umum, pada masa pemerintahan Jokowi membuat peraturan tak perlu berdiskusi dengan lembaga perwakilan kendati menabrak ketentuan yang lebih tinggi.

Di era Jokowi, Indonesia adalah hamparan lahan kosong yang hanya dihuni aparatur negara dan pengusaha. Masyarakat kebanyakan dianggap tak ada. Mereka, kita, harus menyingkir ketika Jokowi hendak membuat proyek melalui investasi bisnis di atasnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus