Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satrio Wahono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sosiolog dan Magister Filsafat Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu esensi demokrasi adalah kuatnya oposisi, terutama oposisi formal di Dewan Perwakilan Rakyat. Oposisi dalam suatu sistem demokrasi harus diposisikan sebagai seteru atau adversary ketimbang musuh atau enemy. Musuh harus dikalahkan, sementara seteru adalah lawan bicara yang mengasyikkan karena memperkaya kita dengan sudut pandang berbeda.
Selain itu, oposisi di DPR merupakan bagian dari mekanisme checks and balances antara negara yang memiliki kekuasaan begitu besar dan warga sipil yang terutama diwakili parlemen. Selain itu, jika kebijakan pemerintah baik, tetap harus ada suara oposisi guna membuat kebijakan tersebut lebih sempurna. Itulah sebabnya dalam demokrasi ada istilah oposisi yang setia mengkritik atau loyal opposition. Walhasil, politik harus bisa merayakan perbedaan pendapat dari oposisi yang justru akan memperkaya perspektif dalam proses perumusan kebijakan publik.
Sekarang, mengingat kita sudah menyelesaikan Pemilu 2024, untuk mengocok ulang komposisi pemerintahan, inilah momentum untuk memetakan komposisi oposisi yang sehat di DPR. Memang hasil real count KPU belum selesai, tapi hitung cepat sejumlah lembaga survei sudah bisa memberikan gambaran.
Hitung cepat Litbang Kompas, misalnya, menempatkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2024-2029. Mereka disokong Koalisi Indonesia Maju, yang partai lolos threshold-nya terdiri atas Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Demokrat.
Sementara itu, delapan partai diperkirakan melenggang ke DPR, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan perolehan suara 16,36 persen, Golkar 14,59 persen, Gerindra 13,51 persen, Partai Kebangkitan Bangsa 10,73 persen, Partai NasDem 9,94 persen, Partai Keadilan Sejahtera 8,40 persen, Demokrat 7,60 persen, dan PAN 7,06 persen. Adapun peluang Partai Persatuan Pembangunan masih fifty-fifty karena persentasenya berada dalam margin of error yang memungkinkannya lolos parliamentary threshold 4 persen.
Dari sini, kita bisa memetakan komposisi ideal koalisi pemerintah ataupun oposisi. Mengacu pada pendapat Arend Lijphart dalam Pattern of Democracy (1999), ada tiga kemungkinan koalisi pemerintahan. Pertama, koalisi kekecilan atau undersized. Ini adalah koalisi yang tidak mendapat dukungan mayoritas di parlemen dan selalu diganggu oposisi.
Kedua, koalisi tambun atau oversized. Ini adalah koalisi yang terlalu ingin merangkul semua pihak untuk mendukung pemerintahan. Efek negatifnya adalah terlalu banyak pihak yang meminta "konsesi" dan kian banyak perbedaan visi yang justru menghasilkan koalisi rapuh.
Ketiga, koalisi pas-terbatas atau minimal winning-coalition. Ini adalah koalisi yang membentuk dukungan pas-terbatas di parlemen. Jumlah partai yang berkoalisi dibatasi sekadar untuk mencapai dukungan mayoritas terbatas, yaitu 55-65 persen.
Dari ketiga teori di atas, koalisi pas-terbataslah yang paling ideal untuk menciptakan relasi pemerintah dengan oposisi yang sehat. Sebab, koalisi ini menjamin dukungan politik di parlemen guna mengamankan kebijakan pemerintahan, tidak melibatkan begitu banyak pihak untuk diakomodasi kepentingannya, dan masih menyisakan cukup ruang gerak bagi oposisi. Walhasil, dalam koalisi pas-terbatas, presiden bisa memperbanyak jumlah kabinet dari kalangan profesional.
Sebagai tambahan untuk konteks Indonesia, koalisi pemerintah ataupun oposisi idealnya mewakili kemajemukan dalam masyarakat, yaitu mencakup unsur nasionalis, partai tengah, dan partai agama, dalam hal ini partai Islam. Dari wawasan teoretis itu, kita bisa melihat kabinet Prabowo-Gibran pada masa mendatang belum memenuhi angka pas-terbatas. Sebab, Koalisi Indonesia Maju hanya didukung 42,7 persen suara parlemen dari Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PAN.
Jika diasumsikan bahwa suatu koalisi yang tangguh mesti mewakili kemajemukan dalam masyarakat, ini belum dimiliki Koalisi Indonesia Maju. Sebab, keempat anggotanya adalah partai tengah, termasuk PAN yang sudah bergeser dari karakter awal sebagai partai berbasis Muhammadiyah.
Karena itu, Koalisi Indonesia Maju harus mengakomodasi partai politik Islam. Pilihan yang tersedia adalah PKS dan PKB. Untuk koalisi yang ideal, jangan merangkul keduanya karena bisa membuat koalisi oposisi tidak majemuk. Secara kalkulasi, mengingat koalisi dengan PKS menghasilkan 51,16 persen dan dengan PKB 54,25 persen, tentu lebih baik bagi koalisi pemerintah mengambil angka yang lebih besar.
Sayangnya, persentase ini masih kurang dari 55 persen. Namun, jika PPP benar lolos, Koalisi Indonesia Maju dapat mengajak PPP untuk mendapatkan 58,25 persen. Sebaliknya, jika PPP tidak lolos, Koalisi bisa merangkul NasDem demi meraih 64,19 persen.
Karena itu, koalisi pemerintahan dan oposisi ideal pada 2024-2029 mendatang memiliki dua skenario. Pertama, Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PKB, dan PPP versus PDI Perjuangan, NasDem, dan PKS. Kedua, Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PKB, dan NasDem versus PDI Perjuangan dan PKS. Ini ideal dan sehat karena koalisi pemerintah memiliki persentase yang cukup dan mencakup kemajemukan masyarakat. Koalisi oposisi pun punya persentase lumayan dan mewakili keragaman.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
PENGUMUMAN : Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.