Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ada khawatiran terhadap politik identitas Islam dalam pemilihan presiden 2024.
Politik identitas sebenarnya bagian dari demokrasi dan perpolitikan Indonesia.
Ada jenis politik identitas Islam yang mungkin berkiprah.
Satrio Wahono
Sosiolog dan Magister Filsafat Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta pada 2017 serta pemilihan presiden 2014 dan 2019 adalah tiga momen pasang ombak dari diskursus politik identitas. Ketiga peristiwa itu marak dengan penggunaan unsur-unsur politik identitas, terutama identitas Islam, dalam mempengaruhi pemilih sehingga berujung pada kerasnya suasana politik. Akibatnya, muncul kekhawatiran luas akan terulangnya politik identitas dalam pemilihan presiden 2024. Bahkan banyak orang menjadi antipati terhadap politik identitas Islam yang dianggap emosional dan garang (violent).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini sangat disayangkan, mengingat politik identitas sejatinya merupakan bagian dari demokrasi dan sejarah perpolitikan Indonesia. Dengan kata lain, politik identitas sesungguhnya memiliki kesahihan (validitas) di negeri ini.
Lanskap Teoretis
Menurut Sunaryo dalam Perihal Keadilan (2021), stigma terhadap politik identitas bisa dirujuk pada pemikiran John Rawls mengenai kewarasan publik atau nalar publik (idea of reason). Menurut Rawls, masyarakat yang adil harus mengedepankan nalar publik dalam kehidupan bersama. Ia mendefinisikan nalar publik sebagai nalar yang secara pasti bisa saling diterima dan saling didukung. Dalam pandangan Rawls, setiap subyek pada dasarnya sudah sejak awal mengetahui hal-hal yang akan diterima. Kapasitas untuk mengafirmasi pengetahuan itulah yang disebut sebagai nalar publik.
Masalahnya kemudian, kelompok yang tidak menerapkan prinsip kewarasan publik akan dianggap sebagai kelompok yang tidak waras. Contoh kelompok semacam itu adalah kelompok keagamaan, yang dianggap tidak rasional karena mengedepankan sentimen emosional agama. Akibatnya, pandangan Rawls jatuh menjadi politik penghindaran (politics of evasion) yang tidak demokratis karena meminggirkan peran kelompok agama. Padahal politik perangkulanlah (politics of engagement) yang semestinya diadopsi guna menciptakan tatanan politik yang lebih baik, mengingat politik jenis ini mampu mengakomodasi aspirasi kelompok keagamaan.
Dari sini kita seharusnya mafhum bahwa politik identitas, termasuk yang berbasis identitas keagamaan, punya hak yang sama dengan aspirasi politik sekularis dalam berkontribusi pada masalah-masalah publik dan politik. Hanya, penganjur politik identitas itu harus mampu mengartikulasikan aspirasi mereka dalam bahasa publik yang bisa dimengerti masyarakat.
Dalam konteks politik identitas Islam, konsep obyektifikasi Islam bisa berperan dalam menerjemahkan bahasa identitas agama ke bahasa publik sebagaimana disyaratkan oleh politics of engagement. Dalam Identitas Politik Umat Islam (1996), Kuntowijoyo menjelaskan bahwa obyektifikasi adalah perbuatan rasional-nilai yang diwujudkan ke dalam perbuatan rasional sehingga orang luar pun dapat menikmati hasil perbuatan itu tanpa harus menyetujui nilai-nilai asal. Maksudnya, Islam sebagai agama yang luhur tentu mengandung nilai-nilai universal. Namun, apabila nilai-nilai universal itu terbungkus dengan satu nama agama terlembaga tertentu, yaitu Islam, orang dari luar agama itu tentu akan rikuh untuk menerimanya. Di sinilah obyektifikasi berperan.
Sebagai contoh, Islam mengenal ajaran tentang ukhuwah yang berarti persaudaraan sesama umat. Sebenarnya, persaudaraan ini merupakan sebuah nilai universal. Hanya, apabila dibungkus dengan kata "ukhuwah", nilai tersebut seakan-akan eksklusif milik Islam. Karena itu, konsep ukhuwah perlu mengalami obyektifikasi menjadi konsep kebangsaan yang mewujud dalam perbuatan konkret, seperti program perbaikan ekonomi bagi seluruh warga negara. Dengan obyektifikasi demikian, warga negara non-muslim pun dapat mengatasi hambatan psikologisnya untuk menerima konsep ukhuwah. Dengan demikian, nilai ukhuwah dari politik identitas Islam seperti ini dapat memberikan kontribusi positif bagi terciptanya tatanan politik kemasyarakatan yang lebih baik.
Syarat Validitas
Bila ditinjau dari segi filsafat politik, jelas bahwa politik identitas, termasuk politik identitas Islam, memiliki validitas untuk dimainkan dalam segala kontestasi politik di Indonesia. Hanya, tidak sembarang politik identitas dapat muncul, melainkan politik identitas Islam yang tidak memiliki watak radikal. Setidaknya, merujuk pada Azyumardi Azra dalam Relevansi Islam Wasathiyah (2020), ada tiga parameter bagi politik identitas Islam radikal. Pertama, paham politik yang bertujuan membangun negara Islam (daulah islamiah) atau kekhalifahan (khilafah) untuk menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kedua, paham yang mengadopsi sikap takfiri, yaitu mengkafirkan mereka yang seagama tapi berbeda paham dan praksis keagamaan. Biasanya, sikap takfiri ini berujung pada kekerasan, baik secara fisik maupun verbal. Ketiga, politik yang mengharamkan sikap toleran dan bermuamalah secara baik dengan penganut agama lain.
Bila satu saja dari tiga parameter ini sudah hadir dalam penggunaan satu politik identitas Islam, politik identitas itu akan kehilangan validitasnya. Misalnya, penelitian antropolog Hisanori Kato dalam Islam di Mata Orang Jepang (2014) menemukan bahwa ada penganut Islam yang sangat baik dalam bermuamalah dengan non-muslim, tapi mereka tetap keras memperjuangkan negara Islam. Jika merujuk pada parameter Azra, muslim seperti itu tetap saja tergolong sebagai penganut paham politik identitas radikal sehingga politik identitas Islam-nya tidak lagi valid.
Politik identitas Islam merupakan suatu aspirasi sosial yang memiliki hak sama dalam kultur demokratis untuk diperbincangkan di ruang publik seperti wilayah politik. Begitu juga di Indonesia. Hanya, politik identitas Islam yang dipergunakan haruslah diobyektivasikan ke dalam bahasa publik dan bersih dari unsur-unsur kekerasan fisik ataupun verbal maupun dari upaya-upaya untuk menggantikan NKRI dan ideologi negara Pancasila.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo