Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Korupsi dan ketakbecusan mustahil menjadi landasan bagi kepentingan bersama yang menjalin orang satu sama lain dalam kerja sama permanen.
Alexis de Tocqueville, 1835
Apa yang bisa diharapkan dari, oleh, dan untuk Koalisi Kebangsaan (selanjutnya disebut Koalisi), yang mencakup katakanlah tiga partai terbesar—Golkar, PDIP, dan PPP? Jawabannya praktis nihil atau bahkan negatif. Roy B.B. Janis, salah seorang pimpinan teras PDIP, sudah menyatakan nihilnya kiprah koalisi ini dalam pemilihan presiden kedua yang baru lalu (Jakarta Post, 24 September). Berbaliknya perbandingan angka di beberapa provinsi yang dalam pemilihan presiden pertama masih menunjukkan dominasi pemilih pasangan Megawati-Hasyim membuktikan bahwa Koalisi justru berdampak negatif bagi pasangan ini.
Koalisi menjadi nihil dan negatif lantaran alasan yang gamblang: gabungan itu justru berisiko mendedahkan karakter dan motif politik negatif dari semua yang bergabung di dalamnya. Ada contradictio in toto pada dirinya. Ini sekaligus membuatnya mudah terjatuh pada sebutan sebagai persekutuan yang tak patut (an unholy alliance).
Di sini Koalisi berhadapan dengan problematik penggunaan label "kebangsaan" itu sendiri. Jika mereka mengartikan kata itu sinonim dengan kata "nasionalis" (ingat "paham kebangsaan" sinonim dengan "nasionalisme"), Koalisi perlu memberikan penjelasan bagaimana partai berbasis agama, apalagi yang selama ini dikenal getol memperjuangkan berlakunya syariat Islam atau yang ingin "mengusung salib ke istana", diterima sebagai anggotanya.
Jika para eksponen Koalisi mengartikan koalisinya kurang lebih sinonim dengan kebersaman "model pelangi", pertanyaan yang segera menghadang ialah mengapa mereka tidak mengikutsertakan partai-partai lain (di luar Partai Demokrat) yang ketika Koalisi diumumkan bukan hanya belum bergabung dalam suatu koalisi tandingan, melainkan belum menunjukkan tanda-tanda ke situ.
Jika kedua problematik di atas tak terjawab secara memuaskan, tak akan mudah bagi Koalisi untuk menghindari kesimpulan bahwa mereka telah menggunakan kata "kebangsaan" yang terhormat itu secara licik untuk sesuatu yang mungkin sama sekali tidak terhormat.
Kedua adalah masalah kredibilitas masing-masing partai dalam hitungan salah satu agenda utama reformasi, yakni pemberantasan korupsi. Kita tahu betapa dalamnya keterlibatan "partai" maupun orang-orang Golkar dalam keluasan praktek dan jaringan korupsi Orde Baru—keterlibatan yang berlanjut nyata di era Bablasan Orde Baru sepanjang lima enam tahun terakhir. Adapun PDIP telah dinyatakan dengan jujur oleh Kwik Kian Gie, tokohnya sendiri, sebagai "partai terkorup". Sulit dibantah bahwa dalam bulan-bulan terakhir orang-orang dari kedua partai inilah, di legislatif maupun eksekutif, yang paling banyak berhadapan dengan kepolisian, kejaksaan, dan para aktivis yang memperjuangkan tegaknya pemerintahan bersih. Juga sulit untuk menyatakan bahwa PPP, partai ketiga, relatif bersih. Dan dengan bergabung ke dalam Koalisi yang dimotori oleh ketiga partai ini, PDS maupun PBR telah merisikokan kredibilitas dan masa depannya sendiri.
Terakhir, seperti tersirat di atas dan mungkin terpenting, Koalisi bukan hanya tidak bertolak dari kesejalanan dalam hal platform partai-partai yang bergabung di dalamnya, melainkan tampaknya juga tak bertolak dari prinsip-prinsip politik luhur apa pun. Yang terbaca santer oleh masyarakat, Koalisi hanyalah kepentingan-kepentingan politik sempit dan jangka pendek, niat bagi-bagi jabatan dan dana dengan tujuan tunggal memenangkan Mega-Hasyim.
Setelah kubu pasangan Megawati-Hasyim mengalami kekalahan telak dalam penghitungan suara hingga saat ini, Golkar di bawah komando Akbar Tandjung segera mengimbau partai-partai sekoalisi untuk memantapkan barisan khususnya dalam DPR. Itu bisa merupakan tujuan yang bajik, yakni melaksanakan prinsip checks and balances terhadap kiprah kalangan eksekutif. Kian luas prinsip ini diterapkan dalam kehidupan bernegara kita, kian positif pula dampaknya bagi bangsa kita secara keseluruhan. Akan tetapi jika pemantapan barisan Koalisi itu dimaksudkan untuk membalas kekalahan dalam pemilihan presiden atau untuk mematahkan pelbagai inisiatif dan kebijakan pasangan SBY-JK beserta kabinetnya (jika kemenangannya benar dikukuhkan nanti) demi menjegal pemerintahannya, saya khawatir mereka lagi-lagi akan gigit jari. Dalam hal ini, prediksi saya bertolak belakang dengan prediksi mayoritas pengamat politik.
Para pengamat ini pada umumnya memprediksi kabinet SBY-JK bukan hanya tak akan bisa berkutik, melainkan sekaligus akan menjadi bulan-bulanan begitu mereka berhadapan dengan dominasi ketiga partai terbesar Koalisi di parlemen. Prediksi ini mereduksi dinamika politik melulu dalam hitungan jumlah (number) atau kekuatan (might) formal, sesuatu yang tak akan dilakukan oleh seorang Machiavelli sekalipun. Bagi saya, mengikuti Aristoteles, politik tak pernah bisa dipisahkan dari prinsip-prinsip yang benar dan bajik.
Selama kredibilitas partai-partai pendukung Koalisi, khususnya ketiga partai terbesar di dalamnya, sangat rendah di mata masyarakat, selama itu pula tak banyak yang bisa mereka lakukan untuk memukul balik atau menyamakan score pada masa ke depan ini. Apalagi jika pada minggu-minggu dan bulan-bulan mendatang ini, kita benar-benar menyaksikan gerak perpecahan, dinamika sentrifugal, pada ketiga partai terbesar pendukungnya. Penyebab dan tanda-tanda ke arah perkembangan negatif dalam tubuh mereka kini semakin kuat dan jelas.
Belum lagi jika SBY-JK benar-benar berhasil menyusun kabinet ahli; tetap menjunjung tinggi amanah mayoritas rakyat yang memilihnya dan tetap tegak pada ideal-ideal reformasi; tetap menjaga bahkan kian memajukan kebebasan pers seperti antara lain dijanjikannya; tetap mempertahankan kesantunan dalam kiprah dan kehidupan politik; dan tetap membuka diri bagi rakyat di sekelilingnya dan di seluruh tanah air—seperti yang dilakukannya pada hari-hari ini—maka kedudukannya sungguh-sungguh akan tangguh. Kabinet SBY-Kalla baru akan jadi bulan-bulanan parlemen jika mereka pun mengkhianati amanah dan kepercayaan besar rakyat seperti para pendahulunya. Perlu diakui sportif bahwa bibit negatif ini juga ada pada kubu SBY-JK. Bibit itulah yang ditunjukkan oleh "pengkhianatan" anggota-anggota Partai Demokrat dalam pemilihan Ketua DPRD DKI belum lama ini. SBY dituntut untuk menyikapi aib internalnya ini secara dini, cerdas, dan tegas, misalnya lewat magnifikasi sumpah atas tiap anggota legislatif Partai Demokrat yang ikut dalam pemilihan tersebut.
Semacam introspeksi radikal sangat diperlukan oleh para pendukung Koalisi, jika tak mau digilas oleh dinamika momentum pencerahan dalam kehidupan politik di tanah air. Mereka terutama mesti membenahi motif-motif dan karakter dari kiprah politik mereka selama ini. Sesungguhnya pemberhalaan uang dan/atau jabatan sudah bermula dari karakter dan motif-motif yang mendasari kiprah politik mereka. Seluruh manifestasi money politics yang sangat parah di kalangan mereka dan dalam kehidupan politik bangsa kita pada umumnya lahir dari karakter dan motif-motif buruk tersebut.
Sehubungan dengan ini ada dua hal yang mau tak mau harus dicamkan oleh para pendukung Koalisi. Pertama, mereka sebaiknya mengikis habis anggapan bahwa mereka akan menjadi jaya dengan terus memakai jubah reformasi sembari tetap mempertahankan karakter dan motif-motif politik Orde Baru, yang monopolistis dan amat serakah itu. Korupsi dana publik untuk memperkaya diri sendiri atau untuk mempertahankan kekuasaan akan berakhir dengan kejatuhan. Dan mereka sebaiknya segera menguburkan ambisi untuk berkoalisi tanpa meninggalkan karakter dan motif-motif politik buruk. Persatuan di kalangan para koruptor adalah persatuan yang paling rapuh, sebab "Ambisi dan manufer yang satu," tutur Tocqueville, "akan menelanjangi yang lainnya."
Tiap praktek politik kotor dan nista hanya akan mengotori dan menistakan para pelakunya sendiri. Ini tidak hanya berlaku di Irak (Saddam Hussein) dan negara-negara berkembang lainnya, misalnya, melainkan juga di Jerman (Helmut Kohl), di Amerika (George W. Bush), dan di Inggris (Tony Blair). Di tanah air, ini pulalah yang berlaku pada pemerintahan Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri. Dengan kata lain, kalangan Koalisi, juga sejumlah kalangan partai-partai lain yang berada di luarnya, lama maupun baru, harus bertobat dan berhenti bertindak sebagai bablasan Orde Baru.
Kedua, bagi figur-figur dan/atau partai-partai tertentu yang jelas-jelas sudah melakukan kesalahan-kesalahan besar di masa lalu (terbukti maupun tidak di pengadilan resmi), sekali lagi lama maupun baru, adalah lebih terhormat dan menyelamatkan harkat jika mereka memilih bersifat sportif dan kesatria. Mereka harus berani mengakui semua kesalahan itu daripada terus berusaha memperpanjang-panjang pengangkangan mereka atas kekuasaan lagi-lagi dengan cara korup dan makin lama makin tak bermalu. Ini niscaya akan kian memperbesar kenistaan dan kehinaan serta potensi keparahan kejatuhannya sendiri. Lambat atau cepat, mereka pada akhirnya akan tersudut ke posisi buntu: maju kena, mundur kena seperti nasib yang menimpa Akbar Tandjung sejak kasus dana JPS Bulog hingga saat ini. Jika kalangan Koalisi tetap berkubang pada karakter, motif, dan praktek politik kerdil mereka selama ini, mereka akhirnya akan tereduksi menjadi kalangan partai-partai kecil yang juga kerdil untuk selanjutnya terhapus dalam peta kehidupan politik kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo