Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun 2017 telah berakhir. Ada baiknya kita mengevaluasi penyerapan beras Bulog. Oleh pemerintah, Bulog dibebani target untuk menyerap 5,46 juta ton setara beras, lebih tinggi dari target internal yang disetujui Kementerian BUMN: 3,74 juta ton beras. Sayangnya, hingga 18 Desember 2017, Bulog baru mampu menyerap 2,156 juta ton beras atau 57,3% dari target internal dan hanya 39,2% dari target pemerintah. Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti memperkirakan, hingga akhir 2017, serapan Bulog hanya 2,3 juta ton beras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa realisasi pengadaan beras Bulog begitu rendah? Kenyataannya, dalam dua tahun terakhir, target penyerapan beras Bulog selalu meleset. Pada 2016, Bulog menyerap 2,97 juta ton beras atau 76% dari target dan pada 2015 menyerap 2,7 juta ton atau 82,3% dari target.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Februari 2017, harga gabah jatuh. Ini sebenarnya hal biasa karena saat itu tengah panen raya: produksi lebih besar ketimbang permintaan. Pemerintah yang panik merespons dengan meningkatkan target penyerapan Bulog secara fantastis: 5,46 juta ton setara beras. Target dialokasikan ke setiap divisi regional dan subdivisi regional serta dipantau ketat dan pelaksanaannya dievaluasi setiap hari. Pada saat yang sama, pemerintah merelaksasi harga pembelian pemerintah (HPP) menurut kualitas gabah kering panen (GKP) dengan kadar air 26-30% (sebelumnya maksimum 25%) dan butir hampa 11-15% (sebelumnya maksimum 10%). Agar berhasil, para penyuluh dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) dilibatkan.
Bulog juga mengubah strategi. Pengadaan tidak lagi mengacu pada harga tunggal untuk kualitas medium. Bulog menetapkan tiga jenis kualitas beras pada rentang harga Rp 7.150-7.500 per kilogram. Gabah dibeli dengan empat jenis kualitas, terendah Rp 4.050 hingga tertinggi Rp 4.650 per kilogram GKG. Untuk mengejar pengadaan beras pada musim gadu (kemarau), dibuat strategi baru, antara lain Bulog menaikkan HPP sebesar 10% menjadi Rp 4.070/kg (GKP) dan Rp 8.030/kg (beras kualitas medium).
Tanam padi yang serentak menghasilkan irama panen ajek, hampir tidak berubah dari tahun ke tahun: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65% dari total produksi padi nasional), panen gadu (Juni-September dengan 25-30% dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari). Pola penyerapan beras Bulog mengikuti irama panen itu. Menurut riset, penyerapan Bulog pada Maret-Juni mencapai 70% dari target. Periode Maret-Juni 2017, Bulog baru mampu menghimpun 1,17 juta ton (31% dari target internal), lebih rendah dari pengadaan pada 2014-2016 yang 1,65 juta ton beras. Jika Bulog gagal memenuhi target pengadaan saat panen raya, target dipastikan meleset.
Data-data ini menunjukkan, sejak pertengahan tahun, hampir bisa dipastikan target penyerapan beras Bulog tidak bakal tercapai. Capaian terlihat kian memburuk lantaran target serapan yang dibuat pemerintah terlalu tinggi, bahkan tidak masuk akal karena tidak ada alasan logis untuk memperbesar pengadaan beras. Pertama, target didasarkan hitung-hitungan produksi di atas kertas. Menurut Kementerian Pertanian, pada 2016, produksi padi mencapai 79 juta ton. Setelah dikurangi konsumsi, ada surplus beras lebih 10 juta ton. Jika benar, tentu harga beras/gabah rendah. Tapi hal itu tidak terjadi. Kedua, HPP tidak mengalami penyesuaian sejak 2015. Padahal, di pasar, harga gabah/beras selalu di atas HPP, tapi Bulog harus menyerapnya sesuai dengan HPP.
Dalam situasi semacam itu, per 1 September 2017, Kementerian Perdagangan merilis peraturan baru: harga eceran tertinggi (HET) beras. Aturan baru itu membedakan harga berdasarkan jenis beras dan wilayah edar. Beras dibagi menjadi tiga: medium, premium, dan khusus. Wilayah dibagi dua: sentra produksi dan sentra konsumsi.
Penetapan HET beras berpotensi merugikan petani. Untuk bisa menjual beras medium dengan harga Rp 9.450/kg, harga gabah maksimal sekitar Rp 4.000/kg. Padahal di pasar saat ini sulit ditemukan harga sebesar itu. Akibatnya, pedagang dan penggilingan padi akan menahan pembelian gabah. Harga pun jatuh. Apabila kejatuhan harga terjadi di banyak tempat dan dalam jumlah besar, Bulog akan mendapat durian runtuh.
Rupanya, perkiraan ini tidak terjadi. Menurut Kementerian Perdagangan, pada 18 Desember 2017, harga beras medium Rp 10.946/kg, di atas HET. Ini terjadi karena harga gabah di pasar tetap tinggi. Rupanya, pergerakan harga terjadi bukan semata karena hukum penawaran-permintaan, tapi juga kualitasnya. Kualitasnya rendah saat panen raya, membaik pada panen gadu, dan baik saat paceklik. Saat panen raya, petani tidak bisa mengandalkan panas matahari untuk mengeringkan gabah sehingga kualitasnya turun. Petani menjual hasil panen dengan kualitas seadanya dan harga pun rendah. Hal sebaliknya terjadi saat panen gadu dan pada musim paceklik: kualitas bagus, harga menjadi lebih tinggi.
Lantas, mengapa pemerintah memperbesar target penyerapan beras pada 2017 jika penyalurannya tidak ada? Karena itu, pengadaan Bulog sebaiknya dirancang komprehensif, tidak ad hoc dan bersifat jangka pendek. Pemerintah tentu tak ingin Bulog bangkrut karena beban tugas publik yang berubah cepat dan sulit diramalkan.
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat