Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Revitalisasi Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah

Ketidaksetaraan kewenangan dan kedudukan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, sesungguhnya diawali sejak awal perubahan UUD.

10 Januari 2018 | 09.03 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Oleh DR. Sulardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002 lalu menjadikan badan perwakilan di Indonesia mengalami perubahan,  yang semula menganut monokameral menjadi bicameral atau dua kamar, yang terdiri dari DPR yang mewakili partai politik dan DPD yang mewakili kepentingan daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagir Manan memandang ada beberapa pertimbangan bagi Indonesia menuju sistem dua kamar:  Pertama, Seperti diutarakan Montesquieu, sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme checks and balances antara kamar-kamar dalam satu badan perwakilan. Kedua, Penyederhanaan sistem badan perwakilan. Hanya ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang terdiri dari dua unsur yaitu unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat dan unsur yang mewakili daerah. Tidak diperlukan utusan golongan. Kepentingan golongan diwakili dan disalurkan melalui unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat. Ketiga, wakil daerah menjadi bagian yang melaksanakan fungsi parlemen (membentuk undang-undang, mengawasi pemerintah, menetapkan APBN, dan lain-lain).

Dengan demikian segala kepentingan daerah terintegrasi dan dapat dilaksanakan sehari-hari dalam kegiatan parlemen. Hal ini merupakan salah satu faktor untuk menguatkan persatuan, menghindari disintegrasi. Keempat, sistem dua kamar akan lebih produktif. Segala tugas dan wewenang dapat dilakukan setiap unsur. Tidak perlu menunggu atau bergantung pada satu badan seperti DPR sekarang.

Sebagai perbandingan, menurut Samuel C Patterson & Anthony Mughan, selain lahir dari tradisi dan sejarah yang panjang, diterapkannya bikameralisme dalam sistem perwakilan diberbagai negara pada umumnya didasarkan atas dua pertimbangan; Pertama, Representation, perlunya perwakilan yang lebih luas dari pada hanya atas dasar jumlah penduduk. Dalam hal ini yang paling utama adalah pertimbangan keterwakilan wilayah.

Kedua, redundancy, perlu adanya sistem yang menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting, dibahas secara berlapis (redundancy) sehingga berbagai kepentingan dipertimbang-kan secara masak dan mendalam.

 Ternyata terdapat kesenjangan kewenangan yang menyolok antara peran DPR dan peran DPD.  Peran DPR sangat besar meliputi penyusunan undang - undang, pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang oleh presiden, dan penyusunan rancanagn APBN. Bahkan dalam hal pemberhentian presiden,  DPR sangat berperan, mulai dari pengajuan kepada Mahkamah Konstitusi, hinggá  pengambilan keputusan dalam pemberhentian Presiden dalam sidang MPR.

 

Mengingat jumlah DPR yang melebihi ¾ dari keseluruhan anggota MPR. Sedang DPD hanya mempunyai  peran pelengkap, baik dalam penyusunan undang-undang, pengawasan terhadap pemerintah maupun penyusunan APBN. Secara demikian checks and balances di lembaga legislatif tidak terjadi, justru dominasi DPR atas Presiden dalam ruang legislasi makin kuat secara konstitusional.Padahal keberadaan kamar kedua bertujuan untuk mencegah terjadinya undang-undang yang dibentuk secara terburu, asal-asalan. Oleh sebab itu perlu melibatkan kamar yang lain dalam rangka persetujuan undang-undang.

Sebagai perbandingan,  di Jerman majelis tinggi yang disebut Bundesrat  memiliki kewenangan untuk menyetujui dan mem-veto (menolak) suatu rancangan undang-undang yang di Basic Law telah menentukan rancangan undang- undang mana saja yang diharuskan mendapat persetujuan Bundesrat, yaitu rancangan undang-undang untuk mengamandemen konstitusi, rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pelaksanaan administrasi negara bagian, serta rancangan undang-undang yang mempengaruhi kondisi keuangan negara. Perlu diketahui bahwa penolakan (veto) dari Bundesrat terhadap rancangan undang-undang yang telah ditentukan oleh Basic Law  harus mendapatkan persetujuan Bundesrat dikenal sebagai absolute veto, veto jenis ini tidak dapat dikalahkan oleh Bundestag, (majelis rendah.

Sedang di Inggris secara umum, fungsi the House of Lords—selanjutnya disebut the Lords—serupa dengan fungsi the Commons dalam hal legislasi, membahas isu, dan bertanya pada eksekutif. Namun, dua hal penting yang amat membedakannya adalah: pertama, para anggota the Lords tidak merepresentasikan konstituen; kedua, mereka tidak terlibat dalam hal yang berkaitan dengan pajak dan keuangan. Peran the Lords secara umum dipahami sebagai sebuah peran tambahan dari apa yang telah dilakukan oleh the Commons, yaitu sebagai perevisi rancangan undang-undang yang dianggap amat penting dan kontroversial. Semua rancangan undang-undang harus melalui kedua kamar.

Di Amerika Serikat dalam Congress yang terdiri dari House of Representative ( DPR) dan Senat) , misalnya, DPR dan Senat punya kesempatan untuk mengecek semua rancangan undang-undang sebelum disampaikan kepada presiden. Dengan demikian, dalam fungsi legislasi, Senat punya kewenangan yang relatif simbang dengan DPR.

 

Problem ketidaksetaraan DPD dan DPR

Ketidaksetaraan kewenangan dan kedudukan antara DPR dan DPD, sesungguhnya diawali sejak awal perubahan UUD. Pada perubahan pertama tahun 1999, peran legislasi dan politik lembaga legislatif sudah sepenuhnya diserahkan pada DPR. Pada awal pelaksanaan kewenangan DPR yang sangat kuat itu, dirasakan DPR menjadi mendominasi kekuasaan presiden, sehingga awal perubahan UUD ketiga tahun 2001 muncul wacana perlunya lembaga penyeimbang atas kewenangan DPR itu, hadirlah DPD.

DPD yang dikontruksi sebagai lembaga perwakilan daerah kewenangannya sesungguhnya telah diambil habis oleh DPR, mulai dari penyusunan undang-undang, anggaran, sampai dengan mekanisme pemberhentian presiden, bahkan proses – proses seleksi atas lembaga negara ; Komisi Pemilihan Umum, Komisi pemberantas korupsi, Komisi Yudisial dan lembaga independen lainnya DPR yang melakukan uji kelayakan.  Oleh sebab itu pengaturan kewenangan DPD pun dipaksakan masuk dalam UUD namun tidak secara optimal misalnya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22D Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan  daerah.” Sedangkan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 : Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Dengan kewenangan yang tidak optimal itu, DPD generasi pertama mengupayakan peningkatan optimal DPD melalui usulan perubahan UUD.  Pada tahun 2008 keseluruhan DPD  menginisiasi usulan perubahan UUD, tetapi usulan perubahan UUD  itu kandas dikarenakan tidak dipenuhinya persyaratan pengajuan usulan perubahan UUD, yakni diusulkan sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR. Kegagalan usulan perubahan UUD itu, disamping tidak cukup kuorum jumlah pengusul juga disebabkan oleh substansi usulan yang lebih memfokuskan optimalisasi wewenang, tugas dan kedudukan DPD.

Gagal meningkatkan optimalisasi peran dan kewenangan DPD, pada tahun 2013 DPD dalam upaya meningkatkan optimalisasi perannya melalui campur tangan Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 28 Maret 2013 lalu, Mahkamah Konstitusi  melalui Putusan No 92/PUU-X/2012 telah mengabulkan permohonan pemohon  (dalam hal ini DPD) untuk sebagian atas pasal pasal dalam UU N0 27 Tahun 2009  tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bertentangan dengan UUD Negara RI tahun 1945. Beberapa pasal dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada intinya DPD kini mempunyai kewenangan yang sederajat dengan DPR dan Presiden dalam penyusunan undang–

Namun, tetap saja yang RUU mengenai  hal – hal tersebut di atas, mekanisme persetujuannya dilakukan secara bersama oleh DPR dan Presiden. Artinya, walaupun melalui keputusan MK, kedudukan dan kewenangan DPD dalam menyusun Undang-undang naik kelas, tetapi kedudukannya masih di bawah DPR dan Presiden.

Walau pun demikian, bukan berarti DPD tidak bisa berperan secara optimal. Peranan yang ada sekarang ini perlu ditunjukan bahwa RUU yang diajukan oleh DPD adalah RUU yang aspiratif dan responsive. RUU yang secara substansi diperlukan oleh masyarakat dan sangat bermanfaat. Konsolidasi dan kesolidan DPD sebagai lembaga perwakilan rakyat, dan kinerja yang baik akan dirasakan oleh masyarakat melalui program laporan tahunan capaian kinerja DPD, baik dalam hal legislasi, maupun pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Bila ini bisa dilakukan dengan baik, maka segenap masyarakat akan mengerti akan eksistensi DPD. Bagaimana pun juga dukungan dan kepedulian masyarakat terhadap DPD ini sangat diperlukan, dalam rangka untuk lebih meningkatkan peran DPD dalam bernegara. Terkait peningkatan peran dan kewenangan DPD, pada bulan lalu tepatnya 6 April 2017, dalam rapat dengan DPR  dalam rangka revisi UU nomor 17 tahun 2014 tentang MD3. Perwakilan DPD menyampaikan 12 usulan, yang intinya merupakan peningkatkan kewenangan DPD dalam penyusunan undang-undang.

Namun  demikian, masih diperlukan perombakan secara besar-besaran penguatan kewenangan DPD secara konstitusional . Pertama, jumlah anggota DPD ditambah, sesuai jumlah kabupaten dan kota yang berada di Provinsi ynag diwakilinya. Kelak jumlah DPD sama dengan dengan jumlah kota dan kabupaten di Indonesia. Kedua, ditingkatkannya peran dan wewenanng DPD yang setara dengan DPR. Ketiga, salah satu  tugas anggota DPD adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi daerah, di tempat kota atau kabupaten dia berasal. Keempat, segera agendakan perubahan kelima  UUD 1945, untuk merealisasi gagasan  tersebut di atas.

Belajar dari kegagalan usulan perubahan UUD pada tahun 2008 itu,  DPD semestinya mengajukan rancangan perubahan tidak hanya untuk kepentingan optimalisasi lembaga DPD di bidang legislasi, tetapi pada kepentingan yang lebih luas, yaitu menuju sistem presidensiil yang sesungguhnya, yaitu sistem pemerintahan presidensiil yang tidak dicampuri dengan sistem pemerintahan yang lain. Jika hanya untuk penguatan dan optimalisasi kedudukan DPD agar setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pastilah mendapat penolakan dari anggota MPR yang berasal dari anggota DPR. Hal ini jelas, sebab dengan meningkatnya kedudukan DPD sama halnya DPR menyerahkan sebagian kekuasaanya pada DP

Harus diakui, bahwa di dalam UUD Negara RI tahun 1945 konstruksi sistem presidensiil lebih kuat ketimbang sebelumnya, hal tersebut dapat dilihat pada tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Kemudian  masa jabatan presiden yang dibatasi maksimal dua periode pemerintahan atau 10 tahun. Pembatasan masa jabatan ini untuk menghindari terjadi penguatan kekuasaan pada sosok presiden yang telah terjadi pada dua presiden kita sebelumnya, yakni Soekarno tahun 1945 sampai 1966, dan Soeharto 1966 sampai dengan 1998.  Batasan hanya dua masa jabatan juga memberikan jaminan terjadinya regenerasi kepemimpinan di masa depan.

Penguatan yang lainnya dapat dilihat dari mekanisme pemberhentian Presiden, yang dilakukan melalui tiga tahap, pertama pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar UUD Negara RI tahun 1945, tahap kedua pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)  atas pendapat DPR, dan tahap ketiga adalah keputusan politik oleh MPR. Mekanisme ini lebih maju dibanding sebelumnya yang hanya dilakukan oleh DPR dan MPR saja.

Hanya saja, berdasar pada doktrin Trias Politika, bahwa kekuasaan pada suatu negara mesti dipisah pisahkan secara tegas, antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemisahan secara tegas ketiga lembaga kekuasaan tersebut  kemudian dinamai sistem pemerintahan presidensiil. Ciri inilah yang belum ada dalam UUD Negara RI tahun 1945, sebab presiden selaku pelaksana kekuasaan eksekutif mempunyai kekuasaan di bidang legislatif. Cheks and balances penyusunan undang undang terjadi antara Presiden dan DPR. Semestinya antara DPD dan DPR.

Secara demikian, sudah sepantasnya DPD mensosialisasikan atas gagasan perubahan UUD menuju pada sistem presidensiil yang sesungguhnya. Apabila gagasan perubahan UUD berkutat pada kesetaraan antara DPR dan DPD pun, secara ketatanegaraan menimbulkan implikasi terhadap kelembagaan yang lain. Pengandaiannya, apabila kedudukan DPD disetarakan dengan DPR dan kewenangan membuat undang-undang ada pada DPR dan DPD menurut Harjono, (mantan Hakim Konstitusi MK), dengan sendirinya memunculkan problem kenegaraan, sebab antara penyusun undang-undang dan lembaga yang melakukan perubahan UUD menjadi sama, yaitu MPR.

Hal tersebut memunculkan problematika terhadap Judicial Review undang-undang terhadap UUD. Sebab, lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan Judicial Review dalam hal ini Mahkamah Konstitusi menjadi tidak diperlukan, toh dengan sendirinya MPR bisa menyatakan bahwa UU bertentangan dengan UUD atau tidak. Oleh sebab itu, gagasan perubahan UUD haruslah didesain lebih holistik, jangan hanya parsial pada kedudukan DPD saja. Sebab suatu hal yang mustahil, DPD dioptimalkan tanpa menyinggung kewenangan lembaga lembaga yang lain.

Hal tersebut membuktikan, bahwa arah presidensiil yang sesungguhnya kini berada di tangan DPD, sebab sejauh ini hanya DPD lah yang antusias mengajukan usulan perubahan UUD. Jika gagasan perubahan UUD difokuskan pada arah sistem pemerintahan presidensiil, akan lebih mudah memperoleh dukungan dari anggota anggota MPR yang lain.

Jika sistem Presidensiil diperkuat dalam UUD, dengan sendirinya kedudukan DPD akan lebih kuat dibanding saat ini. Artinya, penguatan dan optimalisasi DPD merupakan konsekuensi dari pengaturan sistem presidensiil dalam UUD. Jadi penguatan DPD jangan dijadikan tujuan utama dari gagasan perubahan UUD. Nasib sistem presidensiil yang sesungguhnya agar termuat pada UUD Negara RI tahun 1945, kini berada di tangan DPD.

DR Sulardi, pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus