Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Saatnya Mereformasi Kementerian Kelautan

Sejak berdirinya Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 26 Oktober 1999, semangatnya adalah mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan bagi nelayan dan pembudidaya ikan. Kini, 18 tahun sejak berdirinya lembaga ini dan tiga tahun Kabinet Kerja, wujud kesejahteraan yang didambakan belum terlihat sama sekali. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir, semakin jelas terlihat banyak nelayan yang kehilangan pekerjaan.

11 Desember 2017 | 06.10 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yonvitner
Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Sejak berdirinya Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 26 Oktober 1999, semangatnya adalah mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan bagi nelayan dan pembudidaya ikan. Kini, 18 tahun sejak berdirinya lembaga ini dan tiga tahun Kabinet Kerja, wujud kesejahteraan yang didambakan belum terlihat sama sekali. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir, semakin jelas terlihat banyak nelayan yang kehilangan pekerjaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Peningkatan dugaan potensi perikanan, dari 6,6 juta ton pada 2011 menjadi 9,9 juta ton pada 2016 dan 12,4 juta ton pada 2017, masih perlu dibuktikan. Kesalahan yang sering terjadi dalam manajemen adalah menyajikan data yang bersifat dinamis sebagai Indikator Kinerja Utama (IKU) yang polanya statis. Kondisi ini kemudian ini dianggap prestasi institusi. Padahal prestasi sesungguhnya adalah seberapa banyak nelayan yang berhasil disejahterakan atau tidak menjadi bertambah miskin dengan stok yang meningkat tersebut.


Melawan illegal fishing adalah keharusan, tapi melawan kemiskinan adalah kewajiban. Semua kebijakan negara semestinya menjauhkan masyarakat dari kemiskinan. Kebijakan sistem buka-tutup daerah penangkapan, pelarangan penjualan ikan karang hidup, pelarangan penangkapan lobster dan rajungan larva, impor ikan dan penggunaan cantrang harus dirancang dengan baik. Kebijakan itu berhasil apabila mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat dan negara.


Saat ini kita melihat ribuan nelayan penangkap lobster, dari Aceh, perairan barat Sumatera, Lombok, hingga beberapa daerah lain, mendadak menjadi miskin. Pelarangan menangkap benih lobster seharusnya dibarengi dengan memberikan ruang kepada nelayan untuk melakukan budi daya dan perbesaran yang tidak merusak lingkungan.


Pelarangan penjualan ikan karang, termasuk napoleon di Anambas, telah merontokkan usaha rakyat. Padahal, jauh sebelum adanya kebijakan ini, rakyat Anambas sudah membudidayakan ikan napoleon tanpa merusak ekosistem. Pelarangan penjualan ikan napoleon menegasikan kearifan masyarakat.


Kebijakan pelarangan cantrang juga belum memberikan solusi yang adaptif. Jika cantrang dipandang merusak ekosistem, penggunaannya perlu didorong ke perairan yang lebih dalam. Cantrang yang tidak cocok untuk kawasan perikanan tradisional (dekat pantai) mungkin bisa dikembangkan di daerah lepas pantai sehingga nelayan cantrang tetap dapat bekerja. Belum lagi kebijakan impor ikan untuk bahan baku industri pengolahan usaha menengah, kecil, dan mikro yang semakin mendera nelayan.


Jadi, di mana sebenarnya stok ikan yang 12 juta ton per tahun tersebut? Jika potensi itu tinggi, di mana lokasinya dan berapa kapasitas atau potensi penangkapannya bagi nelayan? Berhenti menangkap dan ikan akan menumpuk dengan sendirinya haruslah dibuktikan.


Konsep dinamika populasi selama ini memberikan gambaran adanya proses kematian alami ikan, migrasi ke luar wilayah, serta kompetisi dan predasi (predator memakan mangsanya). Pemahaman yang keliru akan melahirkan kebijakan yang keliru dan berdampak luas.


Agar kebijakan kelautan dan perikanan ke depan tidak keliru dan menyebabkan nelayan semakin banyak yang miskin, sudah sangat mendesak untuk mereformasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Saya melihat ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar perikanan dan kelautan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat dan bangsa ini.


Pertama, menata kembali pengelola Kementerian. Masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan akan sejahtera apabila kebijakan yang dihasilkan dapat adaptif dan berpihak pada upaya pengurangan kemiskinan. Jadi, perlu orang yang memiliki cara pandang komprehensif dalam mengelola perikanan untuk menjadi nakhoda lembaga ini.


Kedua, merumuskan kembali cara pandang pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Perikanan harus dikelola secara partisipatif dan dinamis menurut perilaku stok ikan. Stok ikan tinggi tapi nelayan miskin dan malah mengimpor ikan adalah sebuah ironi yang sulit diterima akal sehat.
Ketiga, susun kembali peta jalan usaha dan investasi perikanan dengan mendorong pengusaha perikanan dalam negeri. Investasi asing perlu dikendalikan dengan memberikan ruang kepada kelompok usaha dalam negeri. Bangun sistem rantai usaha perikanan dari hulu sampai hilir secara terintegrasi.


Keempat, keberpihakan terhadap sumber daya ikan, ekosistem, nelayan, konsumen, ekonomi, dan sains harus diberikan secara proporsional. Jangan menggunakan kebijakan politik belah bambu- menginjak untuk mencari keuntungan- karena ini sebuah paradoks yang tidak memberikan manfaat jangka panjang kepada bangsa yang kita cintai ini.

Ali Umar

Ali Umar

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus