BAGI banyak orang, hari-hari di awal Desember ini adalah milik Megawati Soekarnoputri. Dalam hari-hari ini ia akan dielus-elus oleh sebagian peserta Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya sebagai calon mereka untuk menduduki kursi ketua umum partai berlambang kepala banteng itu. Dalam hari-hari ini pula, untuk pertama kalinya, seorang anak Soekarno benar-benar memperlihatkan tekad memimpin sebuah partai politik. Tekad tersebut tampaknya ibarat gayung bersambut dengan dukungan cukup luas yang diberikan oleh warga PDI. Sambutan meriah bahkan juga datang dari luar partai yang telah sekian lama tercabik-cabik oleh konflik internal itu. Namun, akankah Mega berhasil mewujudkan tekadnya? Bagaimanakah halnya PDI jika Mega benar-benar menjadi ketua umum? Bagaimana pula bila ia gagal duduk di pucuk pimpinan partai tersebut? Pertama-tama, baiklah kita andaikan saja Megawati berhasil duduk di kursi Ketua Umum PDI. Dalam posisi ini, warga PDI yang emosional barangkali akan mempersamakannya dengan Benazir Bhutto, yang berhasil menggantikan peran politik ayahnya di Pakistan. Tetapi mereka yang lebih rasional tentu akan melihat realita kehidupan yang membedakan antara kedua politikus wanita ini. Berbeda dengan Benazir, Mega adalah seorang politikus yang sama sekali tidak sempat ditempa oleh ayahnya. Kementahan Mega di dunia politik terpajang dengan jelas dalam peranannya sebagai anggota DPR selama ini. Malah, bukunya yang berjudul Bendera Sudah Saya Kibarkan, yang sengaja diterbitkan dengan maksud menutupi kementahan itu, memberikan dampak sebaliknya bagi mereka yang rasional. Di singgasana PDI, Mega akan berperan bagaikan mega yang bergerak sesuai dengan arah tiupan angin. Dia akan didorong ke sana dan ditarik kemari oleh argumentasi tokoh-tokoh senior PDI yang berpengalaman luas dan saling bersaing. Dapat dipastikan bahwa tidak sedikit di antara mereka yang tidak mau tunduk begitu saja kepada pemimpin yang mereka anggap masih berbau kencur. Jadi, kelompok mana yang lebih dominan di dalam partai, kelompok itulah yang akan mempengaruhi Mega dan menguasai PDI. Tidak mustahil, situasi itu akan menaburkan benih-benih perpecahan baru di dalam PDI atau, setidak-tidaknya, membuka kembali luka lama. Perlu diingat bahwa Mega menerima sebuah warisan konflik internal yang sangat mendalam. Konflik itulah yang telah membuat pendahulunya pusing tujuh keliling sehingga terdorong melakukan serangkaian pemecatan terhadap teman sendiri, di samping ''membersihkan'' tubuh PDI dari unsur yang tak disukai. Tentu saja ada di antara kita yang menganggap bahwa situasi konflik itu menguntungkan Mega. Bukankah ia justru diperlukan untuk mengatasi konflik-konflik tersebut? Para pendukung emosionalnya memperkirakan bahwa ia mampu menciptakan solidaritas dan mengakhiri pertikaian di dalam tubuh PDI sehingga membuat partai itu, sekurang-kurangnya, menjadi partai yang sehat. Sebab, ia adalah seorang pemimpin yang bertipe solidarity maker, seperti almarhum ayahnya. Hanya saja, mereka lupa, dalam posisi yang hampir sama, Soekarno pernah tersungkur karena terlalu percaya diri. Oh, ya, jangan pula dilupakan bahwa untuk dapat menjadi ketua umum, Mega telah berutang banyak kepada kekuatan-kekuatan yang anti-kemapanan politik, baik di dalam maupun di luar PDI. Kalau memang ia sanggup, dan dibolehkan oleh kelompok yang tidak berkeberatan pada kemapanan politik, utang itu akan dibayarnya walaupun bukan dengan menebarkan Soekarnoisme. Sekiranya ia tidak sanggup membayarnya, sudah tentu ia akan mengecewakan kekuatan-kekuatan yang anti-kemapanan itu. Akibatnya bisa bermacam-macam. Bisa dalam bentuk rontoknya popularitas Mega ataupun menguaknya konflik internal baru. Semua itu akan mengakibatkan merosotnya perolehan suara PDI dalam Pemilu 1997. Sebaliknya, jika Mega mau membayar utang tersebut, PDI akan berhadapan dengan Pemerintah. Pemerintah tentu tidak dapat membiarkan PDI merusakkan kemapanan yang ada karena hal itu akan mengancam stabilitas nasional. Hal ini bisa dilakukan Pemerintah, antara lain, dengan menekan PDI. Situasi yang demikian pasti tidak akan dapat dibiarkan oleh kelompok pro- kemapanan karena dapat mempengaruhi penampilan PDI dalam Pemilu 1997. Bagaimanapun, keadaan ini menjadi taruhan bagi stabilitas PDI. Bagaimana seandainya Mega gagal menjadi ketua umum? Sudah tentu para pendukung emosionalnya akan kecewa berat. Sekalipun demikian, PDI tidak akan menghadapi ''kiamat'' seperti yang diperkirakan oleh sementara pengamat. Massanya tidak akan meninggalkan PDI. Dan kalaupun mau lari, mau lari ke mana? Sementara itu, ''angin'' pendukung dari luar PDI akan mencari mega lain, yang banyak bergelantungan di angkasa, untuk ditiup ke arah anti-kemapanan. Dan kegagalan Megawati tidak akan pernah mengecewakan mereka. Sebab, bukankah mereka hanya mencoba-coba belaka? *) Pengajar di FISIP UI, pengamat sosial-politik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini