Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tragedi tewasnya 10 siswa SMP Negeri Turi 1, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pekan lalu seharusnya bisa dicegah jika pimpinan sekolah dan pembina Pramuka tidak sembrono menggelar kegiatan susur sungai pada saat musim hujan. Orang awam pun paham bahwa melakukan aktivitas di sungai ketika musim hujan sangat berbahaya karena banjir bandang bisa tiba-tiba menerjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi saat ini memang sudah menetapkan seorang pembina Pramuka sebagai tersangka. Tapi kesalahan tidak bisa hanya ditimpakan kepada pembina atau pelaksana kegiatan Pramuka. Kepala SMP Negeri 1 Turi juga harus diusut dan dikenai sanksi. Sebab, tanpa izin kepala sekolah, kegiatan susur sungai itu tidak akan terlaksana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih dari itu, ada persoalan mendasar dalam penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah kita. Pasalnya, ini bukan kasus pertama kegiatan ekstrakurikuler sekolah memakan korban jiwa. Bulan lalu, seorang siswa kelas IV SDN 1 Abung Jayo, Lampung Utara, tewas tenggelam saat mengikuti kegiatan berenang sekolahnya. Tahun lalu, 16 Februari 2019, tiga siswa kelas IX SMP Negeri 25 Kota Semarang juga tewas di kolam renang pada saat mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
Kesalahan tentulah bukan pada kegiatan ekstrakurikulernya. Tak ada yang keliru dari berenang, naik gunung, Pramuka, atau susur sungai. Yang justru perlu dievaluasi adalah pelaksanaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kegiatan ekstrakurikuler, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah, seharusnya dilakukan hanya setelah aspek keamanan serta keselamatannya diperiksa dengan saksama.
Bukan hanya itu. Kegiatan ekstrakurikuler sejatinya merupakan kegiatan pilihan, bukan wajib, bagi siswa. Karena itu, pilihan kegiatan tambahan itu juga harus disesuaikan dengan minat dan bakat siswa. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan sebagai Ekstrakurikuler Wajib pada Pendidikan Dasar dan Menengah perlu dievaluasi. Siswa yang mengikuti aktivitas ekstrakurikuler sesuai dengan bakat dan minatnya akan jauh lebih siap mengantisipasi potensi bahaya dari kegiatan yang disukainya ketimbang siswa yang sekadar ikut-ikutan.
Tragedi di Turi juga menunjukkan minimnya pemahaman pihak sekolah dan pembina Pramuka soal urusan keselamatan yang sangat mendasar. Semua korban meninggal adalah siswa yang mengenakan rok panjang. Itu jelas bukan pakaian yang tepat untuk kegiatan di lapangan, terutama di sungai dengan aliran air yang deras. Ketika siswa menyeberang atau terkena air, rok panjang akan menahan air serta membuatnya terseret arus. Berbeda dengan celana panjang yang memberi ruang arus air langsung lewat di antara kaki.
Karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga dinas-dinas di daerah, harus menjadikan tragedi Turi sebagai titik balik untuk membenahi pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler. Minimal, pembina ekstrakurikuler harus punya pengetahuan dan kemampuan dasar mengenai antisipasi bencana. Sebagai pendamping siswa, mereka harus tahu apa yang dapat membahayakan jiwa anak didiknya serta bagaimana mengantisipasinya. Syarat itu harus dituangkan dalam aturan atau keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tanpa itu, tragedi Turi bisa berulang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo