Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penahanan pengacara Lucas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kian memperlihatkan sisi gelap perilaku advokat. Profesi yang berperan penting dalam penegakan hukum dan keadilan ini justru kerap disalahgunakan untuk melindungi kejahatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lucas dijerat dengan delik menghalang-halangi penyidikan, yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Ia diduga membantu kliennya, mantan Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro, melarikan diri. Sejak dua tahun lalu, tersangka kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini masih buron. Sempat terjaring otoritas Malaysia dan dideportasi ke Jakarta, Eddy kemudian kabur lagi ke negara lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah KPK perlu disokong. Selain penegak hukum yang korup, praktik kotor yang dilakukan pengacara juga merusak dunia peradilan kita. Melindungi klien yang terlibat suap juga menghambat pemberantasan korupsi. Ancaman pidana bagi perbuatan merintangi ataupun menggagalkan penyidikan korupsi cukup berat: paling singkat 3 tahun penjara dan paling lama 12 tahun penjara.
Hukuman seperti itu sudah dirasakan oleh pengacara Fredrich Yunadi pada Juni lalu. Ia divonis hukuman 7 tahun penjara karena merintangi penyidikan kliennya, Setya Novanto, yang terlibat skandal korupsi proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik.
Kalangan pengacara sering bersembunyi di balik imunitas profesi yang diatur dalam Undang-Undang Advokat. Intinya, advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk membela klien di dalam dan di luar sidang pengadilan.
Hanya, aturan itu harus dibaca secara cermat. Kekebalan advokat otomatis gugur bila syarat “dengan iktikad baik” tidak dipenuhi. Membantu klien kabur ke luar negeri demi menghindari proses hukum jelas perbuatan yang beriktikad buruk. Tindakan ini menyebabkan terhambatnya pengusutan kasus suap panitera PN Jakarta Pusat.
Hingga sekarang kasus itu belum tuntas kendati hakim telah memvonis panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution, dengan hukuman 5,5 tahun penjara pada Desember 2016. Edy dinyatakan terbukti membantu pengurusan sejumlah perkara, termasuk urusan peninjauan kembali kasus Grup Lippo. Perantara suap pun telah divonis 4 tahun penjara. Hanya, Eddy Sindoro, yang diduga menjadi otak penyuapan, belum bisa diseret ke pengadilan.
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, yang sempat terseret kasus skandal itu, hingga sekarang juga belum dijerat. Dalam persidangan kasus Edy, peran Nurhadi juga belum terkuak. Bahkan sebagian barang bukti, yakni duit Rp 1,5 miliar yang disita KPK, dinyatakan tidak berkaitan dengan skandal suap Edy Nasution.
Tak cuma untuk memerangi praktik kotor pengacara, langkah KPK menjerat Lucas diharapkan pula akan mempermulus penuntasan kasus Eddy Sindoro dan Nurhadi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo