Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMENTERIAN Keuangan perlu memikirkan strategi pencegahan korupsi yang lebih mumpuni di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Tak kunjung surutnya kasus suap yang melibatkan pejabat di sana mengindikasikan kelemahan manajemen pengawasan dan tak optimalnya program reformasi birokrasi selama ini.
Temuan transaksi tak wajar di rekening bank milik pejabat Bea-Cukai, Agus Djoko Prasetyo, yang terungkap pekan lalu, seharusnya cukup untuk memicu tindakan drastis Menteri Keuangan Sri Mulyani. Agus, yang saat ini menjabat Kepala Subdirektorat Penyidikan di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kepulauan Riau, diduga menerima aliran duit Rp 2,7 miliar dari pihak swasta dalam urusan impor. Dia juga diduga menerima dana gratifikasi sampai Rp 40 miliar.
Tindakan tegas Sri Mulyani bisa berbentuk audit menyeluruh atas personalia di Direktorat Jenderal Bea-Cukai, sekaligus peninjauan ulang proses kerja yang berpotensi memancing sogokan dari eksportir dan importir. Gebrakan semacam itu penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap integritas seluruh jajaran Direktorat Jenderal Bea-Cukai.
Kasus suap yang berulang ini juga menandakan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi di Bea-Cukai, yang dimulai dua tahun lalu, belum efektif. Sejumlah rekomendasi KPK untuk mendeteksi importir berisiko tinggi serta memperbaiki sistem perizinan, kuota, dan administrasi lain belum dijalankan sepenuhnya.
Selain itu, harus diakui pemberantasan suap di Bea-Cukai dipersulit oleh kebijakan pemerintah sendiri. Kebijakan pembatasan impor yang diberlakukan Kementerian Perdagangan, misalnya, tak bisa dimungkiri, membuka celah kongkalikong antara importir nakal dan aparat Bea-Cukai. Upaya intervensi pasar semacam itu menjadi blunder ketika penegakan hukum tidak berjalan.
Penting dicatat, terungkapnya kasus itu tak lepas dari kerja keras Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Namun laporan transaksi keuangan yang mencurigakan saja tak cukup untuk membongkar skandal korupsi. Penyidik KPK harus bisa menindaklanjuti temuan PPATK sampai semua petinggi Bea-Cukai yang terlibat, juga perusahaan penyogoknya, dibawa ke meja hijau.
Sayangnya, rekam jejak KPK dalam menelusuri laporan PPATK yang melibatkan petinggi Bea-Cukai tak terlampau moncer. Kasus yang melibatkan orang pabean lain, Aris Murdiyanto, sejak 2015 sampai kini masih terkatung-katung. Kepala Seksi Kantor Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok ini dituduh sengaja melepas tujuh kontainer daging sapi milik CV Krsna Jaya milik pengusaha Basuki Hariman, yang sebelumnya disita anak buahnya.
Kasus orang Bea-Cukai yang lain, Ahmad Dedi, juga tidak jelas penyelesaiannya sampai sekarang. Ketika menjabat Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Marunda, Jakarta Utara, ia dilaporkan ke KPK karena ada transaksi tak wajar di rekening banknya. Dedi diduga menerima aliran dana seorang perantara yang sebenarnya menyalurkan suap dari importir-importir nakal. Kuat dugaan, kasus Agus Djoko Prasetyo, Aris Murdiyanto, dan Ahmad Dedi ini hanya puncak gunung es.
Pendeknya, Bea-Cukai harus mulai serius berbenah diri. Jika berjiwa besar, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi bisa mengawali upaya perbaikan dengan mengembalikan Bung Hatta Anti-Corruption Award yang diterimanya tahun lalu. Soalnya, kini terbukti Direktorat Jenderal Bea-Cukai ternyata tak bebas dari korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo