Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Basa-basi Pembahasan RUU KUHP

Dewan Perwakilan Rakyat berjanji membahas ulang RUU KUHP. Proses pembahasan harus terbuka.

8 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengesahan RUU KUHP di DPR mundur lagi.

  • Draf RUU KUHP masih tersembunyi.

  • Masih berisi pasal kontroversial.

DEWAN Perwakilan Rakyat menyatakan akan menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan membahasnya ulang bersama pemerintah. Ini sebuah langkah yang positif, asalkan diikuti upaya sungguh-sungguh untuk memperbaiki dan menghilangkan pasal-pasal kontroversial. Jika tidak, masyarakat akan melihatnya semata sebagai aksi basa-basi dan upaya mengulur waktu untuk meredam persoalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 6 Juli lalu, pemerintah kembali menyerahkan perubahan atas draf revisi RUU KUHP kepada DPR. Draf tersebut merupakan revisi yang kesekian semenjak rencana pengesahan RUU itu ditolak masyarakat dalam aksi demonstrasi pada September 2019. Setidaknya ada 14 poin yang dipersoalkan masyarakat. DPR dan pemerintah berjanji akan memperbaikinya, tapi rupanya tidak dilakukan. Pasal-pasal kontroversial masih bercokol pada draf terakhir yang diserahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Pasal 218 tentang penyerangan terhadap martabat presiden dan wakil presiden, misalnya, dipertahankan dengan memberikan keterangan tambahan. Isinya, kritik bisa ditoleransi asalkan “dilakukan untuk kepentingan umum”. Namun, layaknya pasal karet, tak ada patokan yang jelas untuk mengukur kepentingan umum tersebut.

Pasal kontroversial lainnya yang masih bercokol adalah pasal penistaan agama (304). Ada lagi pasal perzinaan (417), yang sebenarnya sudah diatur khusus dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pasal-pasal ini rentan dipakai untuk “menggebuk” pengkritik pemerintah ataupun kaum minoritas, dan semakin mengecilkan peran perempuan. Lalu, ada pasal kontroversial menyangkut pidana mati (Pasal 11), tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib (Pasal 252), penghinaan terhadap pengadilan (Pasal 281), unjuk rasa (Pasal 273), dan lainnya.

Semestinya revisi KUHP merupakan momentum yang tepat untuk menghapus pasal-pasal karet yang selama ini digunakan untuk mengkriminalkan masyarakat. Contohnya pasal karet pencemaran nama. DPR dan pemerintah juga seharusnya memanfaatkan kesempatan ini untuk mengevaluasi pasal-pasal warisan kolonial Belanda yang bertujuan menindas pribumi, misalnya hukuman mati. Tapi itu tidak dilakukan.

Malahan, selama pembahasan untuk revisi, DPR dan pemerintah sama sekali tidak memberi ruang bagi partisipasi masyarakat. Sampai sebelum pemerintah menyerahkan naskah revisi terakhir kepada DPR, masyarakat tidak punya bayangan tentang bentuk akhir RUU yang kontroversial tersebut.

DPR dan pemerintah semestinya belajar dari putusan Mahkamah Agung dalam kasus UU Cipta Kerja tahun lalu. MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan karenanya mesti diperbaiki dalam dua tahun, antara lain karena tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Memang konstitusi memberikan kewenangan kepada DPR dan pemerintah untuk membuat undang-undang, tapi jelas kedua lembaga ini juga diperintahkan untuk mendengarkan aspirasi dan pendapat masyarakat.

Karena itu, jika memang berniat baik, DPR dan pemerintah seharusnya melakukan diskusi terbuka melibatkan seluruh elemen masyarakat. Jangan diam-diam. Dan sebagai langkah awal, agar dipercaya: beri masyarakat akses yang luas kepada draf terakhir RUU yang sampai sekarang masih tersimpan rapat itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus