TAHUN 1971, Arief Budiman memprotes pemilihan umum. Enam belas tahun kemudian, ia memprotes lagi. Kali ini lewat secarik surat pribadi kepada pimpinan Universitas Satya Wacana, Salatiga. Kedua peristiwa itu mengandung persamaan dan sekaligus pcrbcdaan. Pcrsamaannya: protes ditujukan kepada yang berkuasa. Perbedaannya: protes Golput (Golongan Putih), yang menolak partal-partal pohtlk dan Golkar, menank banyak mahasiswa di dalam suatu lingkungan politik makro, sedangkan protes kedua menyulut protes balik melawan si "tukang protes". Ada perbedaan lebih dalam antara kedua protes Arief. Pada protes pertama, sang protagon menjadi semacam hero, yang melambungkan suara-suara mereka yang terbungkam. Pada protes kedua, sang "pahlawan" justru ditertawakan dan dicaci sebagian besar mahasiswa yang nasibnya mau dibela dan kepentingannya mau dipertahankan. Orator ulung Cicero sudah mati lebih dari 2.000 tahun lalu diKekaisaran Romawi. Kalau saja Cicero diperkenankan bangkit dari liang lahadnya, mungkin dia bakal menatap takjub wajah-wajah beringas para mahasiswa demonstran yang menggetarkan lagi tembok-tembok kampus, scperti dia pernah menggetarkan tembok tribun Romawi dengan kata-kata: O . .. tempora, o ... mores-Wahai ... secepat itukah perangaimu berbalik? Boleh jadi, yang disebut nasib mahasiswa telah berubah bentuk, dan kepentingan sudah bukan yang dulu lagi. Protes yang dulu membawa "hasil" kini justru mengasingkan sang pemprotes. Ada suatu kebetulan yang menarik. Arief pernah membicarakan kemungkinan penggunaan teori-teori psikologi Gestalt dalam menilai karya seni Indonesia. Asumsl Gestalt menank perhatian karcna di sana sangat dipentingkan Ganzheit (keutuhan, kelengkapan, kebulatan) dalam keseluruhan konteksnya. Tidak satu pun satuan yang bisa ditarik ke luar dan dinilai sendiri-sendiri. Setiap satuan hanya berarti dalam keutuhannya. Sebaliknya, suatu keutuhan bukanlah jumlah satuan-satuan. Satuan dan keutuhan seakan-akan bergumul secara dialektik yang hampir-hampir magis sifatnya. Coba gantikan nada sol pada lagu Silent Night dengan nada apa pun, maka keagungan harmoni lagu abadi itu akan menjadi kegalauan yang menyakitkan -- bukan saja telinga, tapi terlebih-lebih hati. Sebaliknya, ketika John Lenon dan kawan-kawan dengan sengaja mencabik-cabik harmoni dan membikin ribut bumi dengan disonansi, yang tcrjadi adalah pengalaman bahwa disonansi begitu memabukkan karena indahnya. Revolusi musik pun terjadi. Ternyata, disonansi yang membawa disharmoni juga cantik. Salah satu faktor pengganggu harmoni (demikian tuduhan Arief terh~adap~ universitas) a~dalah ~~pengertian tentang ~luar ~dan ~da~lam. Mana yang luar dan mana yang dalam? Siapa bekerja di luar dan siapa yang bekerja di tengah kehidupan universitas? Dulu sangat jelas dibedakan kapan seseorang bekerja di universitas dan kapan seseorang bekerja d~i luar kampus. Kini telah terjadi perubahan yang membikin orang tidak mudah lagi bisa membedakan mana yang luar dan mana yang dalam. Hampir ~idak bisa lagi kita katakan bahwa proyek yang ditawarkan dan dikerjakan universitas adalah barang luar. (Meski nurani tetap mengusik kita dengan pertanyaan: apakah sungguh proyek dan sebangsanya, yang menyita waktu para profesor dan dosen, sehingga terpisah dari mahasiswa. adalah barang dalam?). Tanpa disadari, universitas sudah menjadi agen politik ekonomi di luar lingkungannya. Menerima proyek bukan suatu hal tercela. Malah, kalau ada dosen yang hidup enak tanpa adanya proyek, bisa dikatakan "tidak masuk akal", bahkan "mana mungkin". Kemakmuran seorang dosen akan diterima dengan kekaguman justru karena dia memegang sekian banyak proyek, yang pada gilirannya bcrarti bahwa dia "laku". Tidak heran bila universitas berlomba-lomba memperlakukan diri sang dosen secara "istimewa". Besarnya proyck yang diberikan kepadanya menjadi lambang bahwa dia bonafide. Itu cenderung mengundang rasa gembira sang bapak, dan memuji sang anak dengan mengatakan: Anda berperan serta dalam pembangunan! Tidak adanya proyek berarti universitas bersangkutan hampir-hampir tidak mcnarik perhatian. Dengan sedikit berspekulasi, mungkin kita bakal terkejut, karena yang dituduh bekerja di luar sebenarnya tidak benar-benar di luar. Profesor dan dosen, scbagai aparat negara, memang sering terlibat dan dilibat proyek-proyek negara. Di situlah terletak perubahan itu: proyek adalah medium "transaksi" antara universitas dan masyarakat politik serta ekonomi. Dan dengan itu universitas sudah menjalani "transformasi" sccara ekonomi dan politik. Universitas Satya Wacana hanya satu contoh yang kebetulan meledak dari puluhan universitas negeri dan swasta yang sudah mengalaml transformasi itu. Kalau kita ibaratkan universitas dan masvarakat politik serta ekonomi sebagai suatu karya seni, maka tepat metode kritik yang digunakan adalah teknik yang ditimba dari asumsi psikologi Gestalt. ~Universitas suda~h tid~ak bisa terp~isa~hkan ~dari negara, ~dan negara tidak rela melepaskan universitas dari genggamannya. Maka, tidak mengejutkan bahwa wajah negara termaktub jelas-jelas dalam universitas. Dalam arti ini, yang kelihatan seperti luar bukan luar lagi, tapi dalam. Yang kelihatan seperti dalam bukan dalam lagi, tapi luar. Luar sama dengan dalam -- itulah yang disebut harmoni. Melawan kecenderungan tersebut dianggap melep~askan satuan dari keutuhannya atau menabuh nada disonansi. Tapi, sekali lagi, nurani saya tetap saja mengusik: apakah vang indah hanya harmoni? Sejarah juga menunjukkan bahwa disonansi juga cantik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini