Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
@mpujayaprema
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA jadi Dewan Perwakilan Rakyat membentuk panitia khusus untuk kasus tercecernya KTP elektronik, barangkali inilah pekerjaan parlemen yang paling receh. Yang diusut adalah sampah, barang bekas yang sudah selayaknya dibuang. Lebih baik Dewan bersidang untuk menyetujui dana abadi kebudayaan yang dijanjikan Presiden Joko Widodo sebesar Rp 5 triliun agar para budayawan yakin bukan mendapat angin surga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi, yang jadi masalah, KTP elektronik yang tercecer itu tidak hanya di satu tempat. Bukan pula puluhan jumlahnya. Ada ribuan dan dibuang begitu saja di tempat yang berbeda. Dua ribu keping dibuang di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, dan seribuan dibuang di Pariaman Tengah, Sumatera Barat. Sebelumnya juga tercecer di sekitar Bogor. Kasus ini tidak lagi bisa disebut receh ketika persoalan KTP elektronik menghadapi masalah yang tak ringan. Masih ada jutaan penduduk negeri ini yang belum bisa mendapat KTP elektronik karena blangkonya habis. Masih banyak penduduk yang malas merekam data untuk KTP elektronik karena tidak yakin akan mendapat kartu identitas itu dengan segera. Pemerintah sudah main paksa, semua warga negara harus sudah merekam data dirinya sebelum tahun baru tiba.
Adapun pada tahun depan, tepatnya pada 17 April 2019, KTP elektronik menjadi benda yang teramat sakti. Dengan memegang kartu mungil itu, orang bisa mencoblos pasangan calon presiden dan wakil presiden, mencoblos partai peserta pemilu, juga mencoblos calon anggota legislatif yang diusung partai tanpa peduli apakah calon itu mantan koruptor atau tidak. Juga tanpa peduli apakah pencoblos ini namanya tercantum dalam daftar pemilih tetap. Keterkaitan ini yang membuat KTP elektronik yang tercecer itu menjadi misterius, betapa pun Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan tak ada kaitannya antara KTP yang tercecer dan pemilihan umum serentak nanti.
Ketika KTP elektronik itu tercecer dari mobil boks di jalanan sekitar Bogor, Menteri Dalam Negeri sudah menginstruksikan agar kasus kecerobohan ini diusut tuntas. Diberikan pula pedoman bagaimana memperlakukan KTP kalau memang tidak dipakai lagi dengan cara mengguntingnya. Yang melanggar akan ditindak tegas. Ternyata ribuan KTP yang tercecer di Duren Sawit dan Pariaman itu tak ada yang kena gunting. Bahkan sebagian KTP di Duren Sawit ada yang masih berlaku, sementara yang di Pariaman memang KTP pengganti dari pembaruan karena perubahan status. Mari kita berandai-andai dengan cara negatif-di tahun politik ini hal yang lumrah-apakah seorang pemilih tanpa ada namanya di DPT akan diperiksa dengan teliti kartu identitasnya ketika memasuki tempat pencoblosan? Belum lagi kalau pikiran kita negatifnya kebablasan, misalnya, dengan menuduh, yang ketahuan karena tercecer itu kan cuma di beberapa tempat, bagaimana dengan KTP abal-abal yang tidak tercecer? Belum lagi pertanyaan yang rada serius, katanya blangko KTP elektronik langka di beberapa daerah, kok ada KTP yang diumbar dalam karung dan konon ada pemasok misterius blangko KTP?
Semua ini harus jelas. Bahwa penjelasan itu cukup dengan memanggil menteri terkait ke DPR atau membentuk panitia khusus supaya lebih keren dan seram, biarlah politikus yang lebih tahu. Di tahun politik ini, kecil dan besarnya sebuah kasus tergantung bagaimana kita menggorengnya. Adapun dana abadi kebudayaan, persoalan amat serius ini lebih baik ditanyakan ke Menteri Keuangan, apa ada uangnya dan apa anggaran itu nanti mulus disetujui DPR? Kasihan para budayawan telanjur ceria.