Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Terima Kasih, Selandia Baru

Di depan khalayak di istananya, Yazid, yang kala itu khalifah Dinasti Umayyah, memainkan kepala Sayyidina Husain, cucu Nabi Muhammad

27 Maret 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Untuk pertama kalinya, ayat suci Al Quran dikumandangkan dalam pembukaan rapat parlemen Selandia Baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Husein Ja’far Al Hadar
Peneliti di Gerakan Islam Cinta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di depan khalayak di istananya, Yazid, yang kala itu khalifah Dinasti Umayyah, memainkan kepala Sayyidina Husain, cucu Nabi Muhammad yang baru saja dibantai oleh pasukannya, dengan maksud mengundang kemarahan keluarga Husain, yang juga ada di istana sebagai tawanan. Ia bertanya, "Bagaimana kau melihat semua ini?" Zainab, saudara perempuan Husain yang turut ditawan, justru menjawab, "Aku tak melihat kecuali keindahan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jawaban Zainab muncul dari apa yang disebut dengan adversity quotient (AQ), yakni kecerdasan dalam menghadapi kemalangan. Ia tak mau terprovokasi dalam kebencian, tapi dia menciptakan kecintaan, sehingga rencana Yazid justru kandas.

Pemandangan semacam itulah yang kita lihat di Selandia Baru beberapa waktu lalu. Hal itu dimulai oleh pemimpin muda berusia 38 tahun, Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru. Kebencian dan ketakutan yang coba disebar oleh anak muda berusia 28 tahuntak perlu kita sebut namanya, sebagaimana ajakan Ardern untuk benar-benar menghabisi jejak teroris yang hendak mempopulerkan kebencian itumelalui aksi teror yang menewaskan 50 muslim di Masjid Al-Noor, Christchurch, dilawan dengan cinta dan keberanian oleh Ardern.

Ardern membangun narasi dan simbol cinta kepada semua manusia. Ia menggelorakan simpati dan perdamaian dengan memakai kerudung dan berpidato di Hagley Park, dekat Masjid Al-Noor, untuk menandai hari berkabung nasional, pada Jumat pertama pascateror, dengan mengutip sabda Nabi Muhammad, lengkap dengan lantunan salawat setelah menyebut nama Nabi: "Orang-orang yang beriman dalam kebaikan, kasih sayang, dan simpati, mereka bagaikan satu tubuh. Ketika satu bagian sakit, seluruh tubuh merasakan sakit. Selandia Baru berduka bersama Anda (komunitas muslim), kita adalah satu."

Lalu azan berkumandang di siaran televisi nasional dan dilanjutkan dengan mengheningkan cipta bersama. Ribuan warga ikut berkumpul dan berkerudung, lalu membentuk benteng manusia melindungi umat Islam yang sedang salat Jumat.

Begitulah memang idealnya teror dilawan. Tak hanya dengan, misalnya, pengetatan aturan kepemilikan senjata oleh pemerintah, seperti yang langsung dilakukan Ardern. Namun, seperti juga dia lakukan, pemerintah mengajak seluruh rakyat melawan sesuatu yang tak tampak, tak terjangkau aturan, tapi justru menjadi fundamen sebab dan tujuan teror: dari kebencian dan untuk (menyebar) kebencian.

Sebagaimana diajarkan Al-Quran dalam QS Fushshilat: 34, dan ini adalah ajaran semua agama, tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga rasa permusuhan itu akan menjadi pertemanan. Sebab, jika tidak, yang terjadi adalah rangkaian kejahatan yang menjadi seperti "lingkaran setan" yang tak akan ada ujungnya. Bukan hanya di antara kita, tapi terus dari generasi ke generasi. Dan, kata Mahatma Gandhi, jika melukai mata dibalas melukai mata juga, dunia akan berakhir buta.

Tak ada warisan yang lebih mengerikan melebihi kebencian. Salah satu faktor utama konflik berkepanjangan yang menghancurkan negara-negara di Timur Tengah adalah warisan kebencian sektarian yang sudah berusia sekitar 12 abad. Begitu pula konflik berbasis kebencian warna kulit yang menjadi motif teror di Christchurch, yang telah berusia lebih dari tiga abad. Ardern tak memilih mewarisi kebencian, tapi menjadi pemutus rantai kebencian.

Di sisi lain, Farhid Ahmed, dari kursi rodanya, sambil memeluk foto istrinya yang menjadi salah satu korban teror di Christchurch, berkata, "Jika diberi kesempatan, saya ingin bertemu dengan pelaku teror (yang menewaskan istrinya), memeluknya dan mengatakan dari hati saya yang paling dalam, saya tak akan pernah membencimu, saya telah memaafkanmu."

Farhid seolah-olah menjawab ajakan Ardern. Begitulah konflik bisa selesai. Supremasi kulit putih berbasis kebencian itu dilawannya dengan "supremasi cinta" yang tak mengenal warna kulit, agama, sekte, dan lain-lain. Kalaupun kebencian itu harus ada, bukan pada orangnya, melainkan tindakannya. Karena itu, supremasi hukum dengan tujuan efek jera adalah bagian dari supremasi cinta tersebut.

Sampul depan koran lokal Christchurch, The Press, pada Jumat pertama pascateror polos, dengan hanya sepotong tulisan Arab: "Salam" (Peace). Koran itu juga seolah-olah menjawab ajakan Ardern untuk merajut perdamaian. Peran The Press ini juga signifikan. Tanpa media, propaganda akan kandas.

Seusai insiden 11/9, Presiden Amerika Serikat George W. Bush sangat bernafsu menyerang Afganistan. Namun ia tak bisa melakukannya karena hanya 30 persen rakyatnya yang menyetujui. Maka Bush bekerja keras mempengaruhi opini publik melalui propaganda media: dari ancaman terorisme hingga Islamofobia. Selang beberapa bulan, 70 persen rakyatnya merestui nafsunya itu.

Apa yang dilakukan The Press adalah antitesis dari apa yang dilakukan Newsweek pada 2012, saat koran itu memasang sampul "Muslim Rage" dengan foto muslim bermimik menyeramkan, yang sontak mendapat kritik dari berbagai tokoh media dunia.

Pada akhirnya, Selandia Baru, sebagai salah satu negara dengan toleransi terbaik, membuktikan eksistensinya. Ia membuktikannya dengan solid, indah, dan mengagumkan. Itu sekaligus menjadi pelajaran penting untuk kita dan siapa saja. Terima kasih, Selandia Baru. \

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus