Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Lingkaran Korupsi BUMN Konstruksi

Proyek penugasan infrastruktur minim transparansi. Lemahnya mekanisme kontrol di Waskita Karya membuat proyek rawan dikorupsi.

 

1 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tindak pidana korupsi masih tumbuh subur di badan usaha milik negara.

  • Modusnya tak jauh dari penggelembungan biaya hingga penganggaran proyek fiktif.

  • Proses audit internal mesti diperkuat agar kasus serupa tidak lagi terulang. 

PENETAPAN status tersangka Direktur Utama Waskita Karya (Persero), Destiawan Soewardjono, dan sejumlah anggota direksi lainnya membuktikan bahwa tindak pidana korupsi masih tumbuh subur di badan usaha milik negara. Kasus dugaan korupsi ini bisa menjadi pintu masuk bagi penegak hukum untuk memeriksa seluruh BUMN konstruksi atas penyimpangan uang negara selama ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Jumat pekan lalu, Kejaksaan Agung menetapkan Destiawan sebagai tersangka kasus dugaan penyelewengan dana supply chain financing anak usahanya, PT Waskita Beton Precast Tbk. Modusnya, menggunakan dokumen palsu untuk membiayai sejumlah proyek fiktif. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menghitung kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tercela itu mencapai Rp 2,55 triliun. Selain mengusut kasus korupsi hingga tuntas, proses penegakan hukum tidak boleh pandang bulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan sekali ini saja kasus korupsi proyek infrastruktur menjerat perusahaan pelat merah. Kejahatan korporasi dan individu sejak dulu tak terhindarkan karena perusahaan BUMN masih menjadi sapi perah. Modusnya tak jauh dari penggelembungan biaya hingga penganggaran proyek fiktif.

Tindak pidana korupsi di BUMN konstruksi juga merupakan buah dari mimpi Presiden Jokowi menggenjot sejumlah proyek infrastruktur. Sayangnya, proyek ambisius ini banyak yang mengabaikan kelayakan secara finansial, tanpa disertai kalkulasi bisnis yang matang. Pelaksanaan proyek juga mengesampingkan tata kelola perusahaan yang baik.

Yang juga berbahaya, proyek penugasan ini merupakan jalan pintas untuk menghindari hak bujet DPR. Tanpa melewati proses pembahasan secara terbuka di DPR, proyek penugasan yang serampangan minim transparansi. Lemahnya mekanisme kontrol membuat proyek infrastruktur rawan dikorupsi.

Waskita Karya adalah satu dari sejumlah perusahaan negara yang mendapat penugasan tersebut. BUMN karya itu tercatat tengah membangun banyak proyek jalan tol, dari Becakayu hingga Trans Sumatera. Ada juga beragam proyek bendungan, jembatan, bandara, hingga pelabuhan.

Untuk mengerjakan proyek tersebut, perusahaan harus mencari pinjaman dari sana-sini. Tumpukan utang itu akhirnya menguras modal kerja dan membuat Waskita Karya limbung dalam beberapa tahun terakhir. Sepanjang tahun lalu, meskipun pendapatan usaha Waskita Karya naik menjadi Rp 15,3 triliun, kerugian perusahaan melonjak hingga 73,3 persen menjadi Rp 1,89 triliun.

Rasio utang terhadap ekuitas (DER) Waskita Karya pada akhir Maret lalu mencapai 5,55 atau naik dari posisi akhir tahun lalu, yang sebesar 4,85. Angka ini jauh dari batas aman karena utangnya hampir enam kali lipat dari ekuitas. Pada akhir kuartal pertama 2023, utang Waskita masih tersisa Rp 84,38 triliun. Perseroan juga sempat berhadapan dengan sejumlah vendor yang menggugat pelunasan utang di jalur pengadilan. Sudah terbebani utang akibat proyek penugasan, perusahaan digerogoti korupsi dari dalam.

Melambungnya nilai utang tak lepas dari upaya perusahaan mencari modal kerja melalui kredit perbankan hingga penerbitan obligasi dengan bunga tinggi. Namun tak semua proyek penugasan pemerintah menguntungkan. Perusahaan gagal meraup keuntungan seperti yang sebelumnya diproyeksikan. 

Sejumlah perusahaan lain, seperti Wijaya Karya, Perusahaan Perumahan, Adhi Karya, dan Hutama Karya, mengalami kondisi serupa. Rasio utang mereka terhadap ekuitas kian melonjak, jauh di atas angka dua. Selain terbebani utang jangka pendek, mereka bisa mengalami gagal bayar karena jumlah utangnya jauh melampaui ekuitas.

Kalau sudah begitu, rakyat juga yang mesti menanggung beban melalui skema penyertaan modal negara. Padahal, di tengah kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih, dana itu dapat digunakan untuk kemaslahatan publik yang lebih mendesak.

Agar bisa keluar dari lingkaran setan, pembenahan BUMN konstruksi harus segera dilakukan. Tata kelola perusahaan yang baik tidak bisa hanya sebatas jargon belaka. Proses audit internal mesti diperkuat agar kasus serupa tidak lagi terulang. Perombakan sistem kerja bisa dimulai dari pemilihan direksi dan komisaris yang kompeten—bukan sebagai balas jasa karena pernah menjadi anggota tim sukses atau dekat dengan penguasa. Proyek-proyek infrastruktur itu juga harus dibahas di DPR secara terbuka sehingga rakyat bisa ikut mengawasinya.

Hanya dengan lingkungan kerja yang bersih, perusahaan bisa mencatatkan performa keuangan yang sehat. Dengan begitu, investor asing pun tertarik berkolaborasi, menanamkan duitnya di Indonesia.

**

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus