PADA awal tahun 1960an, Presiden Soekarno bercita-cita punya gedung-gedung jangkung sebanyak mungkin seperti ibu kota negara lain. Dalam soal ini, ia gagal. Satusatunya "pencakar langit" adalah Wisma Nusantara, gedung 35 tingkat yang tak pernah rampung sampai akhir kekuasaannya. Ini adalah catatan Marshall Green, Duta Besar Amerika untuk Indonesia 1965-1969, dalam bukunya Dari Sukarno ke Soeharto, terbitan Pustaka Utama Grafiti. Soekarno tak cuma dicatatnya sebagai presiden yang frustrasi karena gagal membangun gedung pencakar langit satusatunya gedung bertingkat ketika itu hanya Hotel Indonesia. Ia juga tak berhasil memperbaiki ekonomi Indonesia yang moratmarit. Namun, tak berarti Soekarno tanpa jasa. Sebagai proklamator -- bersama Hatta -- ia telah mengantar bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan, puncak perjuangan kaum politikus yang bergulir sejak 1920-an. Bung Karno juga tercatat mendapat panggilan zamannya untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dengan 250 bahasa daerah yang mendiami sekitar 17 ribu pulau. Untuk mengatasi kemelut politik tahun 1950an, ia mengeluarkan "Dekrit 5 Juli 1959" yakni Indonesia kembali ke UUD 1945 yang menjadi dasar negara sampai sekarang. Pamornya semakin naik sampai kemudian diangkat menjadi "presiden seumur hidup", walau sebetulnya ia tak menghendakinya. Bung Karno menjadi presiden hampir 22 tahun. Sebelum akhir hayatnya, ia sudah digantikan karena tak berhasil menyelamatkan kemelut yang mengancam persatuan bangsa yang dibangunnya. Soeharto, awal 1967, diangkat menjadi penjabat presiden. Langkahnya jelas yakni memperbaiki keadaan ekonomi yang tak pernah diperhatikan Soekarno. Pembangunan nasional dengan tekanan ekonomi itu telah membuahkan hasil. Inflasi, misalnya, yang pada akhir Orde Lama mencapai 650%, kini berada di bawah dua digit tiap tahunnya. Keadaan kritis kurang pangan dan pakaian hampir tak pernah terdengar lagi. Bahkan Indonesia sempat mendapat penghargaan FAO karena swasembada pangan sejak 1984, dan WHO atas keberhasilan program kesehatan. Itu semua tak terlepas dari kepemimpinan Pak Harto. Di bidang politik pun banyak langkah yang dilakukannya. Partai politik disederhanakan, tak terkotak-kotak secara ideologis. Mekanisme demokrasi secara formal digerakkan dengan pemilu, sidang umum MPR untuk menyusun GBHN dan memilih presiden serta wakil presiden. Kedua presiden Indonesia boleh dibilang mempunyai panggilan zamannya sebagai "Bapak Bangsa". Keduanya mendapat panggilan untuk tugas penting guna menyelamatkan bangsanya. Dua "Bapak Bangsa" itu memang khas dan punya karisma. Mungkin pada masa mendatang, dalam keadaan dunia yang lebih dinamis dan kondisi dalam negeri yang mantap, peran "Bapak Bangsa" tak diperlukan lagi. Karena itu, ada pikiran untuk menetapkan pembatasan periode jabatan presiden di luar kedua "Bapak Bangsa" itu. UUD 1945 memang tak menetapkan berapa kali seorang presiden bisa dipilih lagi. Pembatasan masa jabatan ini tentu saja mengandung untung rugi. Seorang presiden yang mampu dan memang dibutuhkan bangsanya mungkin harus berhenti karena sudah lewat batas masa jabatan. Namun, dengan pembatasan itu, kehidupan politik mungkin akan lebih terbuka dan demokratis. Kecuali membuat MPR tak perlu sungkan-sungkan mencari calon baru, presiden pilihannya diharapkan bisa lebih cocok untuk menghadapi dinamika dan tuntutan zaman di masa datang. Semua itu akan terpulang kepada MPR, yang menjadi perwujudan kedaulatan rakyat. Hal itu bisa dikonsensuskan dalam ketetapan atau mendorong budaya politik untuk tak sungkan-sungkan memilih calon baru. Kecuali pembatasan dua kali masa jabatan, juga masih dimungkinkan seseorang yang mampu bisa dicalonkan lagi setelah istirahat lima tahun, seperti yang terjadi di sejumlah negara berkembang yang demokratis. Itu kalau perubahan memang dikehendaki. A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini