Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dua masa jabatan tanpa sungkan

Pembatasan masa jabatan presiden setelah pak Harto dirasa perlu. ini dimungkinkan dalam suasana demokratis dan keadaan politik mantap.

23 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RABU sore pekan lalu, dalam penerbangan dari Jakarta menuju Bali untuk meresmikan Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri Gerakan Non Blok, Presiden Soeharto sempat membaca sebuah berita menarik di koran. Isinya: Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Soerjadi mengusulkan agar masa jabatan presiden dibatasi dua periode saja. Orang nomor satu Partai Banteng itu menginginkan pembatasan itu dimulai sejak periode presiden tahun 1993-1998 mendatang. Artinya, kalau saja rakyat masih menghendaki Pak Harto memimpin bangsa ini dalam Sidang Umum MPR tahun depan, beliau masih punya kesempatan untuk dipilih satu periode lagi. Apa komentar Pak Harto? "Saya ndak mau tanya. Saya cuma melihat beliau baca ucapan Soerjadi itu. Beliau ndak menanggapi apaapa," kata Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, yang menyertai Pak Harto dalam penerbangan menuju Bali. Ucapan Soerjadi dalam kampanye PDI di Kemayoran, Jakarta Pusat, sehari sebelum Pak Harto terbang ke Bali itu agaknya memang menggelindingkan lagi pembicaraan sekitar jabatan presiden. Gagasan ini sudah cukup lama seperti "tenggelam" setelah muncul pada 1977 dalam sebuah seminar di Universitas Indonesia. Tampaknya, tanggapan akan makin ramai mengingat Soerjadi, anak Ponorogo yang ditunjuk pemerintah memimpin PDI sejak 1986 itu, tak cuma melontarkannya di Jakarta. Di Surabaya, Malang, sampai ke Amuntai sekitar -- 200 kilometer di utara Kota Banjarmasin -- Soerjadi selalu menyinggung masa dinas presiden. Selama kampanye, tampaknya isu-isu "panas" inilah yang dipilih Soerjadi, selain soal kesenjangan sosial atau kayamiskin. Dengar saja suara lantang Soerjadi di Amuntai, Jumat lalu. "Kepemimpinan presiden juga harus kita nilai. Selama lima tahun, apakah ia sudah memimpin negara ini dengan baik. Apakah ia sudah berlaku adil. Jika ia sudah baik dan adil, kita akan mempertimbangkannya untuk mencalonkan kembali. Tapi jika ia tidak baik, tidak adil, kita tak akan mencalonkannya lagi," pekik Soerjadi, disambut riuh 3.000 massa PDI yang bertahan di Lapangan Pahlawan walau hujan gerimis menyiram. Masa jabatan presiden dan suksesi kini memang menjadi perbincangan luas. Maklumlah, Sidang Umum MPR tahun depan akan kembali memilih presiden dan wakil presiden. Dan dalam berbagai kesempatan, Pak Harto seakan mengisyaratkan periode ini adalah yang terakhir untuknya. Enam tahun lalu, ketika dicalonkan kembali oleh Golkar dalam rapat pimpinan Golkar di Balai Sidang, Jakarta, Pak Harto mengucapkan kata miris untuk melukiskan perasaan hatinya mengemban tugas sebagai mandataris MPR. Dalam suatu temu muka dengan KNPI di Jakarta, secara berseloroh Pak Harto menyebutkan dirinya TOPP, yaitu tua, ompong, peot, dan pikun. Bahkan, dalam otobiografinya, Pak Harto menyebutkan bahwa kehadiran anak-anaknya saat pelantikannya pada Maret 1988 adalah bisa dimaklumi. Karena, di antara anak-anak Kepala Negara, ada yang menyatakan bahwa itulah pelantikan ayahandanya yang terakhir kali. Saat mengakhiri masa jabatan kelima pada 1993 nanti, usia ayah enam anak ini sudah mencapai 72 tahun. Maka, orang pun bertanya-tanya, akankah tahun depan republik ini melahirkan orang ketiga sebagai presiden. Ini memang soal yang menarik perhatian masyarakat luas. Karena, selama 47 tahun merdeka, Indonesia baru mengenal dua tokoh yang menjadi presiden. Dan dulu, sejarah mencatat, peralihan antara kedua pemimpin nasional tadi bukan berlangsung dalam keadaan normal. Ini sangat berbeda dengan kondisi sosial-politik sekarang ini yang mantap, yang barangkali akan lebih memungkinkan suksesi berjalan mulus. Dengan berbagai sinyal yang dilemparkan Pak Harto, termasuk soal kendala usianya, soal suksesi ini makin menarik dibicarakan. Hasil poll Pemilu 1992 TEMPO dengan 269 responden di enam kota besar menunjukkan, isu suksesi adalah isu yang paling sering dibicarakan setelah soal makin tingginya biaya hidup dan ketimpangan sosial. Dari kategori pekerjaan, pelajar dan mahasiswa serta pekerja swasta adalah kelompok yang paling sering membicarakan masalah suksesi. Dari 106 responden, 22,7% tertarik bicara soal suksesi. Sedangkan yang berstatus pegawai negeri, dari 34 responden hanya 17,6% yang mempedulikan pergantian pimpinan nasional. Sedangkan, pedagang, buruh, dan pengangguran lebih pusing memikirkan biaya hidup yang makin melambung, monopoli, atau ketimpangan sosial lainnya. Dari kelompok usia, responden yang berusia 51 tahun ke atas menunjuk dengan tegas bahwa suksesi adalah persoalan utama politik Indonesia belakangan ini. Kelompok ini agaknya mengikuti benar "jatuh-bangunnya" Republik. Sedangkan kelompok usia di bawah ini umumnya lebih gandrung pada halhal yang lebih praktis seperti soal biaya hidup yang makin meningkat. Pandangan responden kelompok usia di atas 51 tahun tampaknya sejalan dengan pemikiran dua jenderal purnawirawan yang kini berusia 65 tahun. Jenderal (Purn.) Soemitro, bekas Pangkopkamtib, misalnya, sudah lama mempersoalkan suksesi presiden. Dengan berbagai soal yang akan dihadapi menjelang abad ke-21, Soemitro berpendapat, sebaiknya calon presiden pada masa bakti 1993-1998 adalah mereka yang berusia 45-50 tahun. Bekas Dubes RI di Amerika Serikat, Letjen. (Purn.) Hasnan Habib, juga sependapat bahwa perlu suksesi untuk menghadapi masa depan yang makin penuh tantangan. Toh, menurut Soerjadi, isu suksesi dan pembatasan masa jabatan presiden yang dilemparnya bukan untuk memagari tugas Pak Harto sebagai mandataris MPR kalau ternyata beliau dipilih lagi. Atau untuk mengungkit-ungkit masa jabatan Bung Karno. "Kita perlu bersyukur bahwa kedua presiden kita itu orang hebat," kata Soerjadi. Bung Karno adalah proklamator yang melahirkan negeri ini, sedangkan Pak Harto menyelamatkan bangsa dari cengkeraman komunis dan meletakkan landasan pembangunan. Maka, kata Soerjadi lagi, pembatasan masa jabatan presiden itu, "Lebih ditujukan kepada masa setelah Pak Harto." Mengapa? Soerjadi menunjuk kemungkinan kualitas presiden mendatang bukan sekaliber Bung Karno atau Pak Harto. Sehingga, pembatasan masa jabatan semakin relevan. Kemudian, orang nomor satu Partai Banteng ini mengemukakan, dua kali masa jabatan ini merupakan interpretasi PDI atas Pasal 7 UUD 1945. Rumusannya, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. "Lima tahun itu adalah sekali masa jabatan. Lalu, sesudah itu boleh dipilih kembali, itu kami artikan lima tahun sesudah masa yang pertama. Jadi, dua periode," ujar Soerjadi. Suara Soerjadi ini senada dengan ide Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama), awal tahun 1990. Kagama tegas mengusulkan pada pimpinan MPR, agar masa jabatan presiden dibatasi dua kali saja. Alasan Kagama, ekses dari Pasal 7 UUD 1945 tadi bisa saja berupa tak adanya jaminan pergantian pimpinan secara teratur. Sri Sumantri, guru besar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran Bandung, setuju dengan pendapat koleganya dari Yogyakarta. Pertimbangan orang Unpad ini, kalau hanya lima tahun, seorang presiden yang berprestasi tak punya waktu lagi untuk melanjutkan program-programnya. Sementara, kata Loekman Soetrisno dari UGM Yogya, kalau tiga kali menjabat, "bisa menimbulkan gejala kultus individu." Harry Tjan Silalahi dari CSIS menilai, memang ada pikiran sementara orang bahwa seseorang yang terlalu lama di jabatan tinggi akan merasa terisolasi. "Jadi, sebaiknya memang jangan terlalu lama, agar bisa kembali lagi pada rakyat dan bisa menyalurkan aspirasi rakyat," ujar Silalahi. Dia berpendapat, konstitusi di sini memang memungkinkan seseorang dipilih lagi menjadi presiden lima tahun lagi, tanpa pembatasan. Untuk mengubah ini, tak harus mengubah konstitusinya, namun perlu budaya politik yang berani untuk tidak mencalonkan seseorang lagi. Wakil Ketua MPR R. Soeprapto beranggapan, UUD 45 memang dibuat secara luwes, supel, dan sederhana. Penafsiran Pasal 7, misalnya, bisa dianggap seorang presiden dapat dipilih sekali lagi, berarti dua kali masa jabatan. Atau dipilih berkalikali. "Ini justru menunjukkan betapa arifnya pemimpin kita dulu. Dengan dibuat terbuka, kalau di suatu saat kita masih butuh pemimpin yang sama, kita tak akan terbentur dengan pembatasan masa jabatan," ujar bekas gubernur DKI Jakarta ini. Diakuinya, dengan karisma dan wibawa Bung Karno dan Pak Harto, fraksi-fraksi di MPR begitu sungkan pada keduanya. Buntutnya, fraksi-fraksi pun sungkan melontarkan calon selain keduanya. Namun, Soeprapto yakin, kalau kelak roda demokrasi sudah wajar dan kehidupan politik sudah tertib, perangkat lembaga tinggi dan tertinggi negara akan bisa berjalan sebagaimana mestinya. Dari Fraksi ABRI, Mayor Jenderal Sembiring Meliala juga mengartikan Pasal 7 UUD 45 itu sudah jelas: Presiden bisa dipilih kembali setelah masa bakti lima tahun. "Tak pernah ada katakata yang menyebut dua kali saja," kata Ketua Komisi I DPR RI ini. Namun, seandainya ada konsensus nasional, bisa saja masa jabatan presiden itu dibatasi. Sesungguhnya, Partai Persatuan Pembangunan sudah sejak 1978 mengusulkan agar masa kerja presiden cukup dua priode saja. Alasan PPP, karena jabatan gubernur, wali kota, dan lurah juga dibatasi cuma dua kali oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Tapi ketika itu usulan ini tak didukung fraksi yang lain dan PPP menarik usulannya. "Tiga fraksi besar yang suaranya 80% tak setuju. Jadi, tanpa voting, PPP menarik usulan itu," ujar Yusuf Syakir, Wakil Sekjen PPP. Syakir melihat MPR bisa saja membuat konsensus agar seorang presiden yang sudah dua kali menjabat tak dipilih lagi. "Kalau bentuknya konsensus, tak menyalahi ketentuan hukum yang ada," ujar Syakir. Apa pun "alatnya", Marsillam Simanjuntak, Direktur Gugus Riset Urusan Publik, setuju masa jabatan presiden itu dibatasi agar seorang presiden tak duduk di kursinya seumur hidup. Dan memang bukan maksud para pencipta UUD untuk menjadikan presiden seumur hidup. Soal itu sempat ditanyakan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 10 Juli 1945. Adalah Bung Karno yang ketika itu bertanya, "Apakah kepala negara dipilih buat seumur hidup?" Sukiman, yang di tahun 1950-an menjadi Ketua Umum Majelis Syuro Ala Muslimin Indonesia (Masyumi), mengomentari, "Boleh diusulkan sampai usia 60 tahun dan tak boleh turuntemurun." Namun, hal ini tak sampai muncul dalam rumusan UUD 1945. Ada usulan dari Muhammad Ridhwan Indra, doktor hukum tata negara lulusan Pacific Western University, Los Angeles, Amerika Serikat. Dalam buku Kedudukan Presiden dalam UUD 1945 Indra mengajukan saran, usia maksimum presiden sebaiknya diatur dengan ketetapan MPR 1993 nanti. Masalahnya, usia minimum presiden sudah diatur dengan Tap MPR yakni 40 tahun. Anak Jakarta ini berpatokan, usia maksimum presiden dan wapres bisa saja disamakan dengan usia pensiun ketua dan wakil ketua Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung keduanya diatur dengan undang-undang. Jika tak dapat ditetapkan, Indra mengusulkan agar MPR membuat pembatasan, misalnya dua atau tiga kali masa jabatan. Tentunya, baik Bung Karno maupun Pak Harto juga tak ingin menduduki jabatannya sepanjang umurnya. Repotnya, sampai saat ini belum ada calon presiden yang namanya disebutsebut partai politik ataupun Golongan Karya, kecuali PPP yang sudah mencalonkan Pak Harto. Yang beredar di panggung kampanye dan isu yang berseliweran baru nama-nama calon wakil presiden, seperti Try Sutrisno, Rudini, atau Sudharmono. Tampaknya, memang sulit mencari tandingan Pak Harto. Toriq Hadad, Wahyu Muryadi, Ivan Haris, Dwi Irianto, Linda Djalil (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus